aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

Pandangan Islam Tentang Harta


Konsep  Khoirunnas Anfauhum Linnas
Pendahuluan
Dan diantara mereka ada orang yang berdo’a, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS Al baqarah: 201).
Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS Ali-Imran: 148)
Pahala di dunia dalam kedua ayat diatas oleh para ahli tafsir dapat diartikan berupa kemenangan-kemenangan, memperoleh harta rampasan, pujian-pujian dan lain-lain[1].
Allah berfirman: “Dan nafkahkanlah sebagian dari harta mu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”.(Alhadid: 7). Dalam ayat tersebut Zamakhsyari menfsirkan bahwa harta kekayaan yang berada alam kekuasaan manusia,sesungguhnya milik Allah seutuhnya yang telah menciptakan dan menghadirkannya untuk manusia.
Allah memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada manusia untuk memanfaatkan dan memberdayakan segala kekayaan alam semesta untuk kelangsungan hidup di dunia. Namun kepemilikan itu bukanlah hal yang hakiki, melainkan ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam kepemilikannya, yakni berbagi. Karena itu dalam bab harta, dalam islam ada kewajiban zakat, shadaqah, infaq, agar terjadi pemerataan kesejarteraan. Dan itu merupakan bentuk keshalehan sosial yang dibangun guna mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi.
Berdasarkan dari penjelasan yang dituangkan dalam uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep ekonomi Islam mempunyai karakteristik untuk mendialektikkan nilai-nilai materialisme dan spiritualisme. Mengkomunikasikan nilai-nilai samawi, dengan kenyataan kehidupan manusia, hubungan yang bersifat transendental dengan hubungan horizontal antar manusia di atas bumi.
Satu hal penting yang membedakan peraturan Allah dengan peraturan lain yang merupakan refleksi kreasi akal manusia adalah konsitensi tujuan syariah untuk senantiasa menjaga dan mewujudkan kemashlahatan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Ini sangat jelas, bahwa dalam islam peran utama dari harta yang dimiliki adalah untuk mendapatakn keberkahan dari Allah.

Pandangan Islam tentang Harta
Kasbul Halal; Keistimewaan Rizeki Yang Halal
Allah berfirman, “Hai rosul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh.” (QS. Al Mu’minun: 61 )
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwasanya Rosulillah bersabda,”Mencari penghidupan yang halal adalah fardhu bagi setiap Muslim.”[2]
Orang yang sudah diliputi oleh rasa malas dan cinta dunia, dia akan mengira bahwa sudah tidak ada lagi batasan antara yang halal dengan yang haram, sehingga dia mengikuti setiap keinginan dari hawa nafsunya meskipun melanggar syariah, dan itu adalah suatu kebodohan. Rosulillah bersabda, “Yang halal sudah sejelas dan yang haram sudah jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yag mutasyabihat (samar atau meragukan).”[3]

Rosulillah bersabda,”Barang siapa yang makan-makanan halal selama 40 hari, maka Allah akan menerangi hatinya, lalu mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hatinya (melalui lisannya).”[4]
Dalam hadits lain dikatakan ,”Bentuk ibadah itu ada sepuluh bagian, sembilan diantaranya terkait dengan mencari rezeki yang halal.”[5] Hadits ini diriwayatkan secara marfu dan mauquf.

Tingkatan Kehalalan dan Keharaman
Pada masa jaman peperangan dulu, huukum mengambil harta ghonimah adalah bolehh dan halal setelah dikeluarkan seperlima jika peperangan tersebut atas perintah penguasa. Adapun tingkat kehalalan dan keharaman, bahwa yang haram itu semuanya buruk, namun sebagiannya ada yang lebih buruk dari lainnya. Sedangkan seluruh makanan yang halal itu baik, dan ada yang lebih baik dari yang lainnya[6].
Tingkatan pertama dan yang paling keci: Berhati-hatilah terhadap sesuatu yang telah difatwakan haram oleh seorang mufti bagi orang-orang fakir.
Tingkatan yang kedua:menjauhkan diri dari hal-hal yang mungkin mengandung hal yang haram, meskipun mufti sudah memberkan keringanan pada hal tersebut. Karena itu akan menyangkut pada hal-hal yang syubhat.
Tingkatan yang ketiga: Sesuatu yang tidak difatwakan sebagai hal yang haram dan tidka termasuk pada ketegori syubhat, namun jika dimanfaatkan akan menghantarkan pelakunya jatuh pada hal yang diharamkan, maka sebaiknya di jauhi.
Tingkatan keempat: Sesuatu yang menurut ketentuan hukum asal di perbolehkan dan tidak menimbulkan kekhawatiran akan menjerumuskan pada hal yang berbahaya, namun tidak diniatkan karena Allah dan bukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah atau menjadi jalan pada hal yang makruh maupun maksiat, maka sebaiknya dijauhi.

Tingkatan Syubhat
Seperti yang disabdakan oleh Rosulillah bahwa setiap hal itu jelas, yang haal jelas kehalalannya, dan yang haram itu jelas keharamnnya, dan diantara itu ada hal syubhat. Adapun hal-hal yang menjad faktor munculnya syubhat adalah[7]:
Pertama. Ragu-ragu kepada penyebabnya, apakah berasal dari yang dihalalkan atau dari yang diharamkan. Pada tingkatan ini dapat diperjelas dengan membaginya dalam 4 bagian sebagai berikut: (1) Sesuatu yang sudah diketahui keharamnnya secara pasti namun kemudian muncul keraguan tentang kehalalannya. (2) Sesuatu yang sudah diketahui kehalalannya secara pasti dan diragukan keharamannya. (3) Hukum asalnya adalah haram, namun—dengan tidak disangka-sangka—terjadi hal lain yang mengharuskan susutu tersebut di hukumi halal didasarkan pada dugaan kuat, meskipun kehalalannya masih dapat diragukan. (4) Hukum kehalalannya sudah diketahui, namun kemudia berubah dengan lebih condong dihukumi haram karena adanya dugaan kuat uang mengharamkannya didasarkan pada sebab-sebab mu’tabar secara syar’i.
Kedua. Ragu akan terjadinya percampuran (ikhtilath). Hal ini terjadi saat yang haram bercampur dengan yang halal sehingga situasinya menjadi samar, membingungkan dan tidak dapat dibedakan. Dan hal ini dapat di kelompokan dalam tiga kelompok sebagai berikut: (1) Benda yang haram tidak diketahui secara jelas karena berada diantara beberapa benda lainnya yang jelas kehalalannya. (2) Jumlah yang haram terbatas, misalnya terjadi pencurian perhiasan, maka tidak diharamkan jual beli perhiasan meskipun tela terjadi pencurian, dan ada kemungkinan perhiasan curian tersebut beredar di pasar. (3) Barang yang haram dan halal yang bercampur jumlahnya tidak terbatas seperti harta atau uang yang beredar di zaman sekarang.
Diantara praktek syubhat yang lain adalah seseorang dibelikan makanan dengan sistem penangguhan dimana pembayaran berasal dari harta yang haram. Lalu makanan tersebut diserahkan secara tulus sebelum penjual menerima pembayarannya. Menurut ijma’ kehalalan makanan itu tidak tercemar, meskipun dibeli dengan harta haram, dan yang memakannya tidak tau bahwa itu di beli dengan harta haram. Namun dalam bab harta ada suatu hal penting yang harus diperhatikan oleh penerima, yakni mengetahui dan mempertanyakan apa yang diambil atau diterimanya—tidak bisa dibenarkan dalam setiap kondisi namun tidak pula disalahkan dalam segala kondisi.
Lalu bagaimana cara keluar dari harta yang didapatkan dengan cara dzalim?! Maka yang harus dilakukannya adalah bertaubat, dan memisahkan harta yang halal dari harta yang haram, kemudian mengeluarkan harta yang haram. Cara membelanjakan (mengeluarkan) harta yang hara adalah dengan mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, dan jika pemiliknya sudah meninggal, maka diberikan kepada ahli warisnya. Namun jika hata haram itu tidak jelas pemiliknya, maka harta tersebut di shadaqahkan atau dibelanjakan demi kepentingan umum, panti-panti sosial atau ke tempat pembangunan mesjid.
Dan bagaimana hukum mengambil harta dari kas negara?! Hendaknya dia tidka mengambil harta dari kas negara jika harta tersebut bersumber dari pajak pegawai untuk kaum muslimin dan hasil ekspor. Dan diperbolehkan jika harta itu berasal dari harta waris, harta benda yang hilang, pajak, harta rampasan perang, iuran. Mengambilnya pun harus dengan syarat untuk memenuhi kebutuhan dan kemashahatan kaum muslim.
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dan pendapat terbaik adalah boleh menyedekahkannya namun dengan syarat untuk kemashlahatan. Tetap saja, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa mengambil harta negara itu halal.

Kepemilikan harta
Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidka merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan yang tidak sama (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah hak nya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An-an’am: 141)
Dari ayat diatas telah menjadi terang bahwa pemilik harta yang mutlak adalah Allah, manusia hanya diberi titipan.
Adapun yang menjadi sumber kepemilikakn berdasarkan kesepakatan para ulama, ada beberapa media yang dapat digunakan untuk mendapatkan kepemilikan atas harta; berburu, menghidupkan bumi,mengeluarkan hasil perut bumi, nasionalisasi atas aset-aset yang tidak terdapat pemiliknya, warisan, bekerja dan mendapatkan upah. Batasan kepemilikan adalah pemenuhan kebutuhan, jika kebutuhannya sudah terpenuhi, maka sebaiknya dibagikan[8]. Sedangkan menurut Taqiyuddin an-Nabhani, yang menjadi batasan kepemilikan ini sesungguhnya tampak pada sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, yang dengan sebab-sebab itu hak milik seseorang diakui, serta batasan kepemilikan itu juga nampak pada sejumlah kondisi yang mengakibatkan adanya sanksi-sanksi tertentu maupun sejumlah kondisi yang tidak mengakibatkan adanya sanksi apa pun. Ketika membatasi suatu kepemilikan, Islam tidak membatasinya berdasarkan kuantitasnya, melainkan berdasarkan mekanisme (perolehan)-nya[9].
Kepemilikan dalam sistem ekonomi islam, berdasarkan subjek pemiliknya, dibagi menjadi tiga macam, yakni: kepemilikan individual, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara[10].

Kepemilikan Pribadi
Keikhlasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya. Seperti juga jumlah matematik tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya[11].
Seperti di tegaskan dalam surat Ali-Imran ayat 189, bahwa pemilik harta sesungguhnya adalah Allah, dan manusia sebagai khalifah di bumi Allah. Itu artinya Allah menciptakan segala sesuatunya itu untuk Dirinya sendiri. Dan menunjukan bahwa apa yang ada di muka bumi ini dimiliki oleh manusia secara bersama-sama. Secara hukum hak milik individu adalah hak untuk memiliki, menikamati dan memindah tangankan kekayaannya, anmun diluar itu mereka memiliki kewajiban secara moral unuk menyedekahkan hartanya, karena di dalam hartanya itu juga terdapat hak milik orang lain, bahkan makhluk seperti hewan sekali pun. Jika melanggar ketentuan tentang kewajiban berbagi ini ada sanksi-sanki khusus, namun biasanya mereka memang sudah menyadari mengenai konsep berbagi dalam kerangka hukum tersebut, terlebih mereka juga menginginkan keuntungan secara moral dan spiritual yang mereka dapatkan saat berbagi harta pribadinya dengan masyarakat.
Kepemilikan individu adalah hukum syariah yang berlaku pada barang baik zat (‘ayn) maupun manfaatnya, yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan barang tersebut atau mendapatkan kompensasi baik karena barangnya diambil manfaatnya oleh orang lain seperti disewa, ataupun diambil alih melalui cara dibeli. Hukum syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan sebagai cara tertentu yang disahkan oleh syariah untuk seseorang memiliki sesuatu, yakni[12]:
  1. Bekerja, Islam mendorong manusia bekerja guna mencari karunia Allah SWT untuk memenuhi kebutuhan hidup serta menikmati kesejahteraan dan perhiasan dunia.
  2. Pewarisan
  3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
  4. Pemberian negara
  5. Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun.
Konsep hak milik pribadi dalam Islam sangat unik. Dan dalam hal kepemilikan ini, Islam mengatur ada 8 syariat yang mengatur hal milik pribadi, yaitu[13]:
  1. Pemanfaatan harta benda secara terus menerus
  2. Pembayaran zakat sebanding dengan harta yang dimiliki
  3. Penggunaan harta benda secara berfaedah
  4. Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain
  5. Memiliki harta benda yang sah
  6. Penggunaan harta benda tidak dengan cara boros atau serakah
  7. Penggunaan harta benda dengan tujuan memperoleh keuntungan atas haknya
  8. Penerapan hukum waris yang tepat dalam islam
Adapun dasar kepemilikan individu  berdasarkan atas asas tidak adanya kemadharatan atas kepemilikan tersebut bagi kehidupan masyarakat.

Kepemilikan Umum (Collective Property)
Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari’ kepada masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda[14]. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah, bahwa yang disebut barang kepemilikan umum adalah barang yang diperuntukan untuk kepentingan umum, yang tidak boleh dimiliki oleh sebuah komunitas saja, Allah melarang hal yang demikian. Dan yang termasuk kedalam barang kepemilikan umum adalah:
  1. Fasilitas umum, semua fasilitas yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum.
  2. Bahan tambang yang tidak terbatas. Barang tambang yang terbatas, bisa dimiliki oleh individu , dan hasil tambang tersebut terkena rikaz yang harus dikeluarkan 1/5 bagian (20%) darinya
  3. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Contohnya, jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, dan sebagainya.
Kepemilikan Negara (State Property)
Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta fa’i, kharaj, jizyah dan sebagainya. Harta milik umum dan harta milik negara pengelolaannya sama-sama oleh negara. Harta milik umum, tidak bisa di berikan kepada siapa pun, sedangkan harta milik negara bisa diberikan kepada individu sesuai kebijakan pemerintah[15].
Termasuk dalam kategori ini adalah padang pasir, pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan secara individual: bithaih (tanah yang tenggelam tertutup air), shawafi (semua tanah di tempat futuhat yang tak bertuan atau milik penguasa sebelumnya) yang oleh khlaifah di tetapkan menjadi harta baitul mal, semua bangunan yang di buat oleh pemerintah yang dananya dari baitul mal.

Pengertian Barakah
Secara ilmu bahasa, “al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan kebahagiaan.”[16]
“Berkah” atau “al-barakah” bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa “al barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung.
Imam an-Nawawi berkata, “Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.”[17]
Adapun bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka “al-barakah” memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna “al-barakah” dalam ilmu bahasa. Meskipun demikian, kebaikan dan perkembangan tersebut tidak boleh hanya dipahami dalam wujud yang riil, yaitu jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Kebaikan dan perkembangan harta, dapat saja terwujud dengan berlipat gandannya kegunaan harta tersebut, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau tidak berlipat ganda.
Misalnya, mungkin saja seseorang yang hanya memiliki sedikit dari harta benda, akan tetapi karena harta itu penuh dengan keberkahan, maka ia terhindar dari berbagai mara bahaya, penyakit, dan tenteram hidupnya. Dan sebaliknya, bisa saja seseorang yang hartanya melimpah ruah, akan tetapi karena tidak diberkahi Allah, hartanya tersebut menjadi sumber bencana, penyakit, dan bahkan mungkin ia tidak dapat memanfaat harta tersebut. Ini adalah sebagian dari batasan al-barakah yang difahami oleh kita.
Ada pun dalil quran dan sunnah yang membahas tentang konsep dan makna barakah diantaranya[18];
(وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ {10} رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ   (ق: 9-11
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (Qs. Qaaf: 9-11).
Bila keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, tanah gersang, kering keronta menjadi subur makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi (kata orang jawa) atau
(بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ  (سبأ: 15
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (Qs. Saba’: 15).
Demikianlah Allah Ta’ala menyimpulkan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shaleh, penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas dikebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan sudah dapat memenuhi keranjangnya, tanpa harus bersusah-payah memetik atau mendatangkan pekerja yang memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, bahwa dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya, yang demikian itu berkat udaranya yang bagus, cuacanya yang bersih, dan berkat kerahmatan Allah yang senantiasa meliputi mereka (Tafsir Ibnu Katsir, 3/531).
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan hari Kiamat, beliau bersabda,
يقال للأرض: أنبتي ثمرتك وردي بركتك، فيومئذ تأكل العصابة من الرمانة، ويستظلون بقحفها، ويبارك في الرِّسْلِ، حتى إن اللقحة من الإبل لتكفي الفئام من الناس، واللقحة من البقر لتكفي القبيلة من الناس، واللقحة من الغنم لتكفي الفخذ من الناس. رواه مسلم
“Akan diperintahkan (oleh Allah) kepada bumi: tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor unta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras, susu seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah.”  (HR. Imam Muslim).
Demikianlah ketika rezeki diberkahi Allah, sehingga rezeki yang sedikit jumlahnya, akan tetapi kemanfaatannya sangat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan segerombol orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.
Ibnu Qayyim berkata, “Tidaklah kelapangan rezeki dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak. Akan tetapi, kelapangan rezeki dan umur diukur dengan keberkahannya.” (Al-Jawabul Kafi karya Ibnu Qayyim, 56).
Bila ada yang berkata, “Itukan kelak tatkala Kiamat telah dekat, sehingga tidak mengherankan, karena saat itu banyak terjadi kejadian yang luar biasa, sehingga apa yang disebutkan pada hadits ini adalah sebagian dari hal-hal tersebut.”
Ucapan ini tidak sepenuhnya benar, sebab hal yang serupa -walau tidak sebesar yang disebutkan pada hadits ini- juga pernah terjadi sebelum zaman kita, yaitu pada masa-masa keemasan umat Islam.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh, dahulu biji-bijian, baik gandum atau lainnya lebih besar dibanding yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu-pen) lebih banyak. Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian khalifah Bani Umawiyyah sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: ‘Ini adalah gandum hasil panen masa keadilan ditegakkan.’” (Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim, 4 / 363 dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal, 2/296).
Seusai kita membaca hadits dan keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas, kemudian kita berusaha mencocokkannya dengan diri kita, niscaya yang kita dapatkan adalah kebalikannya, yaitu makanan yang semestinya mencukupi beberapa orang tidak cukup untuk mengenyangkan satu orang, berbiji-biji buah delima hanya mencukupi satu orang.
عن عُرْوَةَ بن أبي الجعد البارقي رضي الله عنه أَنَّ النبي صلّى الله عليه وسلّم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى له بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا له بِالْبَرَكَةِ في بَيْعِهِ. وكان لو اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فيه. رواه البخاري
“Dari sahabat Urwah bin Abil Ja’id al Bariqy radhillahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya.” (HR. al-Bukhary).
Demikianlah sedikit gambaran tentang peranan keberkahan pada usaha, penghasilan, dan kehidupan manusia, yang digambarkan dalam al-Quran dan al-Hadits.

Konsep Barakah Khoirunnas Anfauhum Linnas
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ. القصص: 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. al-Qashash: 77).
Diriwayatkan dari Jabir, Rosulillah bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidka ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. Tabhrani dan Daruquthni. Dishahih kan al-Albani dalam “Ash-Shahihah”)
Ketentuan pertama dalam Islam adalah tidak diperbolehkan memiliki kekayaan yang tidak digunakan. Aisyah meriwayatkan, Rosulillah bersabda: “ Siapa saja yang mengerjakan tanah tidak bertuan akan lebih berhak atas tanah itu”. Dalam riwayat lain, ketika itu Umar bin Khattab mengambil kembali sebagian tanah yang diperikan Nabi kepada Bilal, hal itu dilakukan karena Bilal tidak mampu mengelola semua tanah yang telah didapatnya dari Nabi itu. Maka tidak ada larangan khalifah mengambil kembali tanah yang dimiliki Bilal. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulillah:”Orang yang menguasai tanah yang tidka bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun mengasainya, dia tidak menggarapnya dengan baik”.
Ketentuan terhadap pemanfaatan kekayaan secara terus menerus juga berlaku bagi cara memanfaatkannya. Islam menginginkan pemerataan pembanguan dalam segala hal. Tidak hanya membangun dalam satu hal, melainkan seimbang. Dan tidak hanya sebatas pertumbungan yang simbang melainkan juga pembagian kekayaan yang berimbang. Karena itulah dalam islam ada konsep zakat. Hal ini adalah untuk menjadi salah satu jalan kebermanfaatan dari kekayaan yang dimiliki seseorang. Bahwa kekayaan harus memberikan kebaikan bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat umum.
Dalam ajaran Islam terdapat ukuran manusia terbaik, yaitu manusia yang paling memberi manfaat bagi orang lain. Khoirunnas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang telah memberi manfaat bagi manusia lainnya.
Harta bisa dikatakan barakah jika dengan harta tersebut menghantarkan pemiliknya pada posisi kekuatan moral dan spiritual yang tertinggi, sehingga dia memiliki hubungan yang baik antar dirinya dengan manusia, dan terjalin hubungan yang baik juga antara pemilik harta dengan Tuhannya.
Disisi lain kebijakan yang mengarahkan pada pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan dengan sebaik-baiknya akan mendorong optimalisasi sumber daya. Salah satu cara mengoptimalisasikan keberkahan dalam harta adalah ketika kita membelanjakannnya untuk hal yang halal, seperti untuk memenuhi kebutuhan dalam arti memberkan nafkah, berinfak, bersedeqah, dan berzakat, atau berwakaf. Sehingga dari pembelanjaan-pembelanjaan itu dia mampu meringankan sebagian kondisi sosial yang ada di bawahnya, atau untuk pengembangan pendidikan dan keilmuan agama Islam. Semakin banyak menebar manfaat, maka semakin baik dia di sisi Tuhannya, jika dia Ikhlas.

Penutup
Kesimpulan
Bab harta dalam Islam memiliki pembahasan tersendiri. Dan bab harta sendiri, sangat di perhatikan. Mulai dari cara memperolehnya sampai pada cara mengelolanya. Semua proses itu harus terkerangka dalam jalur yang halal.
Islam mengakui kepemilikan, baik itu kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dibalik semua kepemilikan itu islam pun mengusung konsep keberkahan dalam setiap aktivitasnya. Islam menekankan keshalehan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Agar apa yang terjadi pada sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, tidak terjadi pada sistem ekonomi islam. Islam tidak memutlakkan kepemilikan pada makhluk, melainkan kepemilikan itu di mutlakan kepada Allah. Sehingga manusia yang sebagai khlaifah di muka bumi sebagai wakil Allah, boleh memanfaatkan apa yang sudah diciptakan Allah dalam batasan yang syar’i.
Menjadi insan yang memiliki manfaat terbanyak bagi manusia lainnya sangat di anjurkan bagi setiap muslim, karena itu adalah makna lain dari keberkahan dalam rejeki. Karena dengan berbagi yang terukur dalam keikhlasan bisa mengantar pelakunya pada tingkat kedekatan spiritual dengan Tuhan, dan mendapatkan apa yang menjadi interst nya yakni, syurga Allah.
Daftar Pustaka
Abdul Sami Al-Mishri. Pilar-pilar Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006
Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997.
Imam Ghazali. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin. PT. SAHARA intisains. Jakarta. 2010.
M.Ismail Yusanto. Pengantar Ekonomi Islam. Al-Azhar Press.Bogor. 2009.
Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Ekonomi Islam. Al-Azhar Press. Bogor. 2010
Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45, al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul A Ibnu Manzhur 10/395.
Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 1/225
HR. al-Iraqi, al-Mughni ‘An Haml al-Asfar (2/90), ia menyandarkannya pada Abu Nu’aim dalam Hilyah al_Auliya (5/189)
HR al-Hindi, Kanz al_Ummal (6891)
HR. al_Baihaqi, as-Sunan (6/128)
HR. al-Iraqi, al-Mughni ‘An Haml al-Asfar (2/90), ia menyandarkannya pada Abu Nu’aim dalam Hilyah al_Auliya (5/189)
HR al-Hindi, Kanz al_Ummal (6891)
Mushaf Al Burhan. CV Media Fitrah Rabbani. Bandung. 2009
www.pengusahamuslim.com

[1] Mushaf Al Burhan. CV Media Fitrah Rabbani. Bandung. 2009
[2] HR. al_Baihaqi, as-Sunan (6/128)
[3] ibid
[4] HR. al-Iraqi, al-Mughni ‘An Haml al-Asfar (2/90), ia menyandarkannya pada Abu Nu’aim dalam Hilyah al_Auliya (5/189)
[5] HR al-Hindi, Kanz al_Ummal (6891)
[6] Imam Ghazali. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin. PT. SAHARA intisains. Jakarta. 2010. hal. 206
[7] Ibid. hal. 207
[8] Abdul Sami Al-Mishri. Pilar-pilar Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006
[9] Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Ekonomi Islam. Al-Azhar Press. Bogor. 2010
[10] M.Ismail Yusanto. Pengantar Ekonomi Islam.Al-Azhar Press.Bogor. 2009. hal.125
[11] Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997. hal.63
[12] M.Ismail Yusanto. Pengantar Ekonomi Islam.Al-Azhar Press.Bogor. 2009. hal.141
[13] Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997. hal.65
[14] M.Ismail Yusanto. Pengantar Ekonomi Islam.Al-Azhar Press.Bogor. 2009. hal.143
[15] M.Ismail Yusanto. Pengantar Ekonomi Islam.Al-Azhar Press.Bogor. 2009. hal.146
[16] Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45, al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur 10/395.
[17] Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 1/225
[18] www.pengusahamuslim.com

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar