aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

KODE ETIK GURU DAN MURID MENURUT TOKOH PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI.

MENGIDENTIFIKASI KODE ETIK GURU DAN MURID  MENURUT TOKOH PENDIDIKAN ISLAM  AL-GHAZALI.


1.   Kompetensi Dasar       : Mahasiswa Dapat Memahami Kode Etik Guru Dan Murid Menurut Tokoh Pendidikan Islam Al-Ghazali
2.      Indikator                         : Mengidentifikasi Kode Etik Guru Dan Murid Menurut Tokoh Pendidikan Islam Al-Ghazali
3.      Biografi Tokoh                   : Al-Ghazali

Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Ahmad Al-Thusi Al-Ghazali, beliau dilahirkan di desa Khurasan, Persia (sekarang Iran) pada tahun 450 H/1059 dan meninggal dunia di tanah kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al-Ghazali dinisbahkan ke Thusi karena ia merupakan kota dimana penduduk Khurasan bekerja, yang sebelumnya bernama Thabaran. Kota Thusi ditaklukan oleh umat Islam pada tahun 28 H/649 M, dirobohkan oleh para penghianat pada tahun 791 H/1389 M, dan di kota itulah Khalifah Harun Al-Rasyid dikuburkan.[1] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad juga dikenal dengan nama Al-Ghazali karena ada hubungannya dengan nama tempat kelahirannya, desa Ghazalah. Al-Ghazali artinya orang yang berasal dan desa Ghazalah. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau dipanggil al-Ghazali karena ayahnya seorang pemintal benang tenun (Ghazali dalam bahasa Arab berarti benang tenunan). Jadi, al-Ghazali artinya anak seorang pemintal benang tenun.
Ayah al-Ghazali, yaitu Muhammad, bekerja sebagai pemintal benang tenun. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Walaupun hidup dalam keadaan serba kekurangan, Muhammad adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan dan berharap kedua anaknya, yaitu Al-Ghazali dan Ahmad kelak menjadi orang-orang yang memilki ilmu pengetahuan yang luas.[2]
Remaja, sebuah usia anak yang seringkali mengalami fluktuasi di pelbagai dimensi perkembangan tidak disia-siakan Al-Ghzali. Dia pergi ke jurjan dan memperdalam fiqih ke Abi Al-Qasim Al-Isma’ili (w. 477/1085), disaat umurnya belum genap 20 tahun. Tidak diketahui pasti berapa lama dia tinggal di sana. Yang pasti, ketika hendak  pulang dari sana Al-Ghazali di hadang oleh para pembegal dengan merampas tasnya yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang disenanginya. Kejadian itu menjadikan trauma psikologis berkepanjangan bagi Al-Ghazali, dan sejak itu juga dia selalu berhati-hati terhadap apa yang dibawanya (Fa’iz Muhammad ‘Ali Al-Hajj, 1988: 29). Setelah kejadian itu, Al-Ghazali menjadi bertambah rajin mempelajari kitab-kitabnya, memahami limu yang dikandungnya, dan berusaha mengamalkannya. Juaga selalu menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman (Abuddin Nata, 2000:82).[3]
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok) pengajiannya semakin luas,. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-asyak), yang oleh orang abrat dikaenal dengan Skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rector dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098M, ia menuju Palestina berdoa disamping kubur Nabi Ibrahim a.s. kemudian, ia berangkat ke Makkah dan ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.[4]
Cukup banyak pengalaman-pengembaraan Al-Ghazali di luas dan dalamnya lautan ilmu. Dia menghibahkan diri sebagai pribadi yang haus akan ilmu dengan merelakan diri hanyut di rantau keilmuan. Ke Bagdad, Syam, Mekkah, Palestina, Hijaz, Mesir, dan pelbagai belahan dunia keilmuan, merupakan tempat dimana al-ghazali sekurang-kurangnya pernah singgah dalam beberapa waktu untuk belajar/mengajar.[5]
Pada tanggal 14 jumadil akhir 505H/1111M, Imam Al-Ghazali wafat. Beberapa saat sebelum wafat, beliau minta dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk memanggul jenazah. Beliau menatap keranda itu sambil berkata, “Apapun perintah Allah, aku siap untuk melaksanakannya.” Beliau lalu melunjurkan kakinya dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan jenazahnya dimakamkan di kota Thus, Iran.[6]

4.      Uraian Materi
a.       Pengertian Kode Etik
Pendidikan islam, sejak pertumbuhanya hingga sekarang telah berlangsung selama 14 abad, yakni dimulai sejak Rasul muhamad SAW memancangkan tonggak dakwah islamiyah setelah beliau menerima wahyu dari allah SWT. Beliau sendiri menempatkan dirinya sebagai sumber atau referensi pendidikan islam yang bersumber  pada al-quran dan al-hadits berkembang dinamis dari masa kemasa . berbagai pemikiran pendidikan telah dilontarkan oleh para ahli, baik oleh ahli yang berlatar belakang muslim atau non muslim. Dalam islam yang di sebut pendidikan islam adalah pendidikan yang senantiasa menjadikan al-quran dan hadits sebagai landasanya. Terhadap hal ini telah banyak pakar yang mengemukakan gagasanya di bidang pendidikan islam termasuk mengenai etika guru, diantaranya yaitu ibn jama’ah, Al-Ghazali dan Hasyim asyari.[7]
Etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani ”Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata lain “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup (Zubair, 1987:13).
Sedangkan Etika menurut para ahli sebagai berikut (Abuddin, 2000: 88-89):
1. Ahmad Amin berpendapat, bahwa etika merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
2. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengatahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
3. Ki Hajar Dewantara mengartikan etika merupakan ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semaunya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
b.      Materi Pokok
Menurut Al-ghazali bahwa kepribadian dan etika guru adalah sebagai berikut [8] :
1. Kasih Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.
2. Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan
3. Hendaknya tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dn kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar( al-ilm al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly)
4. Hendaknya  peserta didik di tegur dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tunjuk hidung.
5. Guru yang memegang bidang studi tertentu sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain.
6. Menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka.
7.  Dalam menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global yang tidak perlu menyajikan detailnya.
8. Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatan.
Pendidik merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Dalam menggali konsep-konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama Muslim dan/atau ilmuwan Barat, yang perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelanjangi konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam dengan pisau bedah al-Ghazali, yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral dan rasional dalam ulasan-ulasan pemikirannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik.
Selanjutnya adalah mengenai kode etik murid menurut Al-Ghazali [9] :
1.      Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela.
2.      seorang murid hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi,Karena Fokus terhadap persoalan dunia akan mengganggu konsentrasi murid terhadap ilmu yang dipelajarinya
3.      seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya.
4.      bagi murid pemula janganlah melibatkan dan mendalami perbedaan pendapat para ulama’, karena hal demikian akan menimbulkan prasangka buruk, keragu-raguan dan bimbang.
5.      Seorang pelajar jangan pindah dari satu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, mengingat bahwa berbagai macam ilmu itu saling berkaitan satu sama lain.
6.      Seorang pelajar jangan menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu saja, melainkan harus menguasainya ilmu pendukung lainnya, dan memulai dengan ilmu yang paling penting, baru mendalami bidang ilmu tertentu, karena umur yang tersedia tidak cukup untuk menguasai semua bidang ilmu.
7.      seorang murid jangan melibatkan diri pada pokok bahasan atau suatu bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Artinya murid harus memahami hirarki ilmu pengetahuan.
8.      seorang murid agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu, yaitu kemulian hasil dan kepercayaan serta kekuatan dalilnya, yakni mengetahui faedah serta manfaat pengetahuan itu, yakni mana yang lebih manfaat? Itulah yang harus diutamakan.
9.      seorang murid agar dalam menuntut ilmu didasarkan pada upaya untuk menghiasi bathin dan mempercantik dengan berbagai keutamaan, yaitu mendaki untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
10.  seorang murid harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.

5.      Rangkuman
Rangkuman dari materi yang dibahas diatas adalah bahwa menurut Imam Al-Ghazali seorang Guru dan Murid harus mempunyai kode etik yang harus selalu dijungjung tinggi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, sudah jelas bahwa kode etik guru menurut Imam Al-Ghazali diantaranya adalah sebagai berikut : Kasih Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri, Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan, Hendaknya tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dan kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar( al-ilm al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly), Hendaknya  peserta didik dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tunjuk hidung, Guru yang memegang bidang studi tertentu sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain, Menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka, Dalam menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global yang tidak perlu menyajikan detailnya, Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatan.
Dan begitu juga seorang murid harus mempunyai kode-kode etik ketika dalam pelaksanaan belajar yang sangat bagus untuk dijadikan pedoman, kode etik itu menurut Al-Ghazali sebagai berikut : Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela, dan yang lainnya yang telah disebutkan dalam pembahasan diatas .

Soal-Soal :
A.       Soal pilihan ganda"
1.      Manakah kitab karya Imam Al-Ghazali yang terdapat dibawah ini ?

a.       Ihya’ Ulumuddin
b.      Ta’limul Muta’alim
c.       Naso’ihul Ibad
d.      Tarikh Tasyri’
e.       Bulughul Marom


2.      Siapakah nama lengkap Imam Al-Ghazali yang tepat dibawah ini ?
a.       Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Ahmad Al-Thusi Al-Ghazali
b.      Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Hamid Al-Thusi Al-Ghazali
c.       Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi
d.      Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad ibn Hamid Al-Thusi Al-Ghazali
e.       Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad ibn Ahmad Al-Thusi Al-Ghazali
3.      Siapakah Imam Al-Ghazali itu, kecuali ?

a.       Ilmuan Muslim
b.      Pemikir Muslim
c.       Ulama muslim
d.      Seorang Lulusan kedoteran muslim
e.       Seorang filosof


4.      Apa pengertian yang tepat mengenai kode etik secara etimologi dibawah ini ?

a.       Pola Aturan
b.      Pola Pengembangan
c.       Pola Kehidupan
d.      Pola Susunan
e.       Pola Gagasan


5.      Tujuan kode etik bagi kehidupan khususnya dalam belajar mengajar, Kecuali ?


a.       Perlindungan Profesi
b.      Pengembangan Profesi
c.       Menjunjung tinggi martabat profesi
d.      Memelihara kesejahteraan
e.       Meminimalisir pengabdian


6.      Apa fungsi dari kode etik itu sendiri bagi seorang guru ?

a.       Untuk mengatur hubungan Guru dan Murid
b.      Terhindar dari tanggung jawab
c.       Lari dari beban tugas
d.      Dekat dengan gaji tinggi
e.       Memperbanyak kajian


7.      Dibawah ini adalah beberapa etika yang harus dimiliki oleh guru, kecuali ?
a.       Kasih sayang pada peserta didik
b.      Meneladani Akhlaq Rosululloh SAW
c.       Tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain.
d.      Guru hendaknya mengamalkan ilmunya
e.       Berlaku takabur terhadap ilmu yang dimilikinya
B.     Soal essay
1.      Sebutkan minimal 5 etika yang harus dimiliki oleh seorang Guru dan murid menurut Imam Al-ghazali ?
2.      Jelaskan pengertian Etika secara etimologi dan terminologi menurut para ahli ?
3.      Tulis dengan singkat Biografi dari Imam Al-ghazali.


DAFTAR PUSTAKA

DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.260

Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.2

DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan...., Op.Cit.,Hlm.260-261

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Hlm.157

DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.262

Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.9


Al-imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammmad AlGhazali, Ihya Ulum Al-din,(Beirut –Libanon:Dar Al-Ma’rifah,tt) hal -55-58

Perspektif Islamtentang pola hubungan guru-murid : studi pemikiran tasawuf Al-Ghazali /H. Abuddin Nata. PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hal 106-108.



[1] DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.260
[2] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.2
[3] DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan...., Op.Cit.,Hlm.260-261
[4] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Hlm.157
[5] DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.262
[6] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.9
[8] Al-imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammmad AlGhazali, Ihya Ulum Al-din,(Beirut –Libanon:Dar Al-Ma’rifah,tt) hal -55-58
[9] Perspektif Islamtentang pola hubungan guru-murid : studi pemikiran tasawuf Al-Ghazali /H. Abuddin Nata. PT. Raja Grafindo Persada. 2001. Hal 106-108.
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar