aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

mashalih murshalah



BAB I
PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang
            Sebelum kita masuk kedalam pembahasan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya yang dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan kata-kata atau bahkan dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan syari’at sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam liberal. 
             Banyak kita temukan orang-orang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan maslahat semata, dalam ushul fiqih ini dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik perkara individu, jamaah maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada maslahatnya, serta salah jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at. Padahal para Imam Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah bukanlah dalil.Akibatnya terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan.
             Bagi kaum muslimin, semua tentang dien  harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang shohih menurut pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya. Dien menurut pandangan Islam adalah apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam kitabnya yang bijaksana dan Sunnah Nabi-Nya yang shohih, baik berupa perintah, larangan, maupun petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
            Dari Anas r.a., ia telah berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila ada sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahui. Dan apabila ada urusan agamamu, maka kembalikan padaku.” (H.R. Ahmad). Hadits ini mununjukkan bahwa apapun urusan agama mutlak harus mengacu pada Nabi, sementara urusan dunia bebas terserah kita selama tidak diatur oleh agama dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah.
            Pada dasarnya urusan duniawi boleh dan tidak terlarang kecuali ada keterangan yang melarang, mengharamkan, dan bukan mencari dalil yang menghalalkan. Perbuatan yang ditinggalkan Rasullullah SAW ada dua bagian, yaitu: (1) Ada yang menjadi Bid’ah; (2) Ada yang menjadi Maslahat Mursalah.
B.     Rumusan Masalah
Masalah yang kami bahas dalam makalah ini terkait dengan beberapa permasalahan Mashalihul Mursalah, yaitu:
1.      Apa pengertian mashalihul mursalah?
2.      Bagaimanakah tinjauan maslahat mursalah?
3.      Apa saja dalil-dalil dan landasan pokok dalam mengamalkan mashalihul mursalah?
4.      Bagaimana pendapat ulama mazhab seputar mashalihul mursalah?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Memahami pengertian mashalihul mursalah.
2.      Mengetahui berbagai tinjauan maslahat mursalah.
3.      Memahami dalil-dalil dan landasn pokok dalam mengamalkan mashalihul mursalah dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Memahami maksud dari pendapat para ulama madzhab mengenai mashalihul mursalah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
            Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Sedangkan mursalah artiya lepas.
            Sedangkan secara terminologi terkandung dalam beberapa pendapat para ulama :
1.      Imam ‘Izudin bin Abdus Salam: (Maslahat memiliki dua bentuk; pertama tinjauan hakiki yaitu membuat tentram dan nyaman, kedua majazi yaitu sebab-sebabnya. Ini dapat kita katakan bahwa terwujudnya maslahat itu disebabkan karena adanya mafsadat. Sebagai contoh, memotong tangan pencuri hakekatnya adalah menghilangkan cara dan perbuatannya. Merajam orang yang berjina serta menjilidnya merupakan pengasingan (تغريب) atas perbuatan mereka. Jadi intinya, semua hukuman dalam syari’at jangan dipahami sebagai mafsadat, bahkan hal itu merupakan maksud dari syari’at (memberikan kemaslahatan bagi manusia).
2.       Syaikh Thohir bin ‘Asur salah satu ulama kontemporer: (bahwa maslahat disandarkan pada pekerjaan yang memberikan manfaat selamanya bagi semua manusia atau dirinya sendiri)
3.       Ibnu Taimiyah: (maslahat dalam pandangan mujtahid adalah perbuatan yang mendatangkan manfaat yang benar dan bukan bersumber dari syari’at yang tidak bermanfaat) serta Al-Khawarijmi memberikan pandangannya seputar maslahat ini yaitu menjaga maksud dari hukum dengan menafikan segala bentuk mafsadat dari penciptaan
4.      Ar-Raisuni mengatakan hakekat maslahat adalah setiap ketentraman dan kesenangan jasmani, jiwa, akal dan rohani,. Sedangkan hakekat mafsadat adalah setiap hal yang merusak jasmani, jiwa, akal dan rohani. Ar-Roji mengatakan bahwa tidak ada interpretasi lain untuk masalahat kecuali ketentraman (al-ladāh) karena hal itu merupakan akses terhadapnya (baca:maslahat). Serta tidak ada pengertian lain untuk mafsadat kecuali kerusakan sebagai bagian darinya.[1][1].
5.       Abdul Wahhab Khallaf, mashalihul mursalah adalah sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum yang merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung ataupun menolaknya.[2][2].
      Dari paparan pengertian diatas, baik dari tinjauan etimologi maupun terminologi kita bisa menarik konklusi bahwa yang disebut dengan maslahat adalah suatu perbuatan hukum yang mengandung manfaat dan ketentraman bagi semua manusia atau dirinya sendiri terhadap jasmani, jiwa, akal serta rohani dengan tujuan untuk menjaga maqhasid asy-syari’ah.
B.     Tinjauan Mashlahat Mursalah
            Dari pengertian yang diberikan oleh para ulama’ ada dua versi
pengertian untuk maslahat mursalah, yaitu sebagai berikut:
1.      Kemashlahatan itu tidak ada dalilnya dari syariat yang khusus mengenai persoalan tersebut yang menetapkan atau menolaknya.
2.      Kemashlahatan itu termasuk dalam keumuman dalil-dalil syar’i yang menetapkannya atau menolaknya, meskipun tidak ada dalil khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut.[3][3].
             Pada pengertian yang pertama di atas jelas jika yang dimaksud dengan maslahat mursalah itu seperti pengertian tersebut maka hal itu adalah bertentangan dengan kesempurnaan Islam. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku………….…” (Al-Maidah: 3)
            Oleh karena itu Allah tidak membiarkan kita begitu saja untuk menganggap  maslahat dan menganggap baik sesuai dengan hawa nafsu kita dalam masalah syar’I dan agama. Allah berfirman:
“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban).” (Al-Qiyamah: 36)
            Oleh karena Itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Ash-Shorimul Maslul:Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar menggunakan istihsan atau istishlah, karena hal tersebut merupakan bentuk pembuatan syari’at berdasarkan akal.
             Dan banyak orang mengira bahwa sesuatu itu bermanfaat bagi agama dan dunia
padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlarat, sebagaimana yang Allah
katakan tentang khamar dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa
keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
             Imam Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: ”Oleh karena itu para penganut madzhab menetapkan maslahat mursalah itu bukanlah hujjah dalam agama Allah. ” (Lihat Mudzakirotul Ushul karangan Asy-Syinqithi hal. 170)
            Adapun para ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah dibawa kepada
pengertian maslahah mursalah yang kedua.
          Oleh karena itu Abu Hasan Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam
IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap
syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan
oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau
mengatakan: “Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya telah
sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut
dan inilah pendapat yang benar, namun sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut, namun para sahabatnya
mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika
periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak
berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku untuk kemaslahatan yang Dlaruriyyah, Kulliyyah dan Qath’iyyah,
bukan pada kemaslahatan yang tidak Dlaruri, Kulli dan Qath’i. Hal itu
sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok
kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka
pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika kita memerangi mereka, akan
teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qath’i meskipun
dalam hal ini harus membunuh orang  yang tidak berdosa.Pembunuhan seperti ini meskipun dibenarkan namun tidak ada nas yang mengiyakannya atau melarangnya.
            Jika hal ini dapat dipahami maka sebenarnya kemaslahatan itu hanya
berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang ditentang oleh syar’i.
            Ulama Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengakuinya dengan menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Ada kesesuaian antara kemaslahatan yang dianggap sebagai dasar
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia
tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qath’i.
2.       Kemaslahatan itu sendiri rasional, sejalan dengan sifat-sifat yang pantas dan masuk akal.
3.      Pelaksanaan kemaslahatan itu benar-benar dapat menghilangkan kesulitan.
            Penggunaan maslahat tanpa persyaratan tertentu dikhawatirkan akan mengikuti hawa nafsu belaka, oleh karena itu di perlukan syarat-syarat tertentu agar penggunaan maslahat tetap dalam nilai-nilai syariah.[4][4]
            Ulama Mazhab Hanafiyah dan asy syafi’iyah tidak melihat sebagai
dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;
Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280)
.
            Diantara syarat yang lain adalah dalam kitab Irsyadul Fuhul hal. 242 dikatakan ”Jika kemaslahatan tersebut Dlarudiyyah, Qath’iyyah dan Kulliyyah maka kemaslahatan tersebut diakui namun jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi maka kemasslahatan tersebut tidak bisa diterima. Dharuriyyah adalah hendaknya kemaslahatan yang hendak dicapai itu termasuk dari bagian dharuriyyatul khamsah. Qath’iyyah adalah kepastian manfaat yang akan ada. Dan yang dimaksud dengan Kulliyyah adalah berlaku untuk seluruh kaum muslimin dan tidak hanya berlaku unuk sebagian kaum muslimin atau suatu keadaan tertentu saja.
             Inilah yang dipilih oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah dan Imam Al-Baidhawi rahimahullah, dan Imam Al-Ghazali rahimahullah memberikan permisalan dengan masalah tatarrus ( Ketika non muslim menawan muslim sebagai perisai untuk menghindari serangan).”
Dengan demikian maka pada pengertian yang kedua ini tepatlah jika Imam Al-Qarrafi mengatakan:”Setelah diteliti sebenarnya maslahat mursalah itu digunakan oleh seluruh madzhab.”
C.    Pembagian Maslahat
Maslahat secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:
1.      Mashalih al-mu’tabiroh yaitu maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash.  Pada pointer ini syari’at menjelaskan secara langsung (tekstual) melalui nash atau ijmā’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmā’ diantaranya -seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas. Elemen yang membentuk maslahat pada marhalah ini seperti menjaga agama (khifdzu al-din) yaitu perintah untuk jihad dan memerangi orang-orang yang murtad, menjaga jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu dengan memberikan hukuman qishas terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu menerapkan sanksi atas orang yang minum khamar, menjaga keturunan (khifdzu an-nasl/al-‘irdh) yaitu menghukum pelaku yang berbuat zina dan menjaga harta (khifdzu al-mal) yaitu mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi orang yang melakukan hal itu. Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau sifatnya dhoruriyah.
2.      Mashalihul mulghōh yaitu maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh syariah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
3.      Mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. yaitu maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman. Sahabat mendirikan penjara, mencetak mata uang, atau menetapkan tanah pertanian yang menjadi milik bagi orang yang membuka lahan tersebut.[5][5].
            Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
            Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil (argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan kulliyah (menyeluruh).
            Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.
            Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.
          Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak.
Kelima syarat tersebut ialah:
  1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
  2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
  3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
  4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
  5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.[6][6].
D.    Dalil Mengamalkan Mashalihul Mursalah
1.      Naqli :
a.       Al-Qu’ran
            Sebagaimana firman Allah SWT {فاعتبروا يا أولي الأبصارل}surat Al-Hasyr ayat 2. Allah memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati (mujawaz)teks sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran Islam itu sendiri.
b.      Sunnah
            Rosullullah memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam tataran makna nash Al-Qur’an yang global tatkala nash khusus tidak menyentuh wilayah tersebut. bagi Rasulullah menetapkan metodologi ini kepada umat setelahnya dan memberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan ijtihad selama masih dalam koridor yang sesuai. Contoh yang paling populer adalah (Ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dia bertanya (menguji) kepadanya “apa yang akan engkau perbuat jika menemukan suatu permasalahan?” Muadz menjawab “aku akan menetapkannya dengan hukum Allah” jika engkau tidak mendapatkannya? “dengan sunnah rosul” dan apabila tidak ditemukan juga. “aku akan berijtihad dengan pendapatku (ra’yu). Kemudian rosulullah menepuk dada Mua’dz dan berkata “Maha suci Allah yang telah memberikan taufiq kepadamu, dan rosul merestuinya).
c.       Perbuatan Sahabat
1. Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut.
2. Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali cambukan (jaldah3. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para pekerja/pengrajin (shanā’a).
4. Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.
2.      Aqli
            Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa konstitusi Islam telah mencapai titik final. Sedangkan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda, dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sebagaimana tertuang dalam firman Allah {وما أرسلناك إلاّ كافة للنّاس بشيرا ونذيرا} surat Saba` ayat 28. Kalau kenyataannya demikian, maka harus ada metode untuk istinbat hukum melalui ruh nash-nash dan kaidah-kaidah umum dalam merespon setiap kejadian baru disebabkan kontinuitas waktu dan perubahan tempat. Dan mashalihul mursalah merupakan refresentasi dari metodologi yang dibutuhkan ketika menentukan hukum.
            Sejalan dengan ini Syaikh Az-Zanjānī mengutip perkataan Iman Syāfi’i “hal tersebut (mashalihul mursalah) dibutuhkan untuk menetapkan aturan atas kejadian yang khusus dengan mengambil makna dan kebenaran dari aspek finalitas syari’at tersebut. Dan sesuatu yang final tidak bisa bergeser oleh yang bukan final.
             Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut sebahagian ulama terbagi menjadi beberapa bagian. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa  sedikitnya ada 3 syarat mashalihul mursalah itu bisa direalisasikan, yaitu:
1. Sifatnya dharuriyah.
2. Universal/Syumuli. Harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya untuk kepentingan sebahagian orang.
3. Ada dalil qoth’i atau mendekati dalil qoth’i tersebut (dzani). Imam Ghazali tidak menjadikan syarat ini untuk mashalihul mursalah pada umumnya kecuali dia hanya menempatkan syarat ini pada contoh kasus yang khusus. Seperti diperbolehkannya orang muslim untuk meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan selama hal itu bisa mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam.
Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali, diantaranya:
1. Rasional, ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya.
2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah.
3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
E.     Pendapat Ulama Madzhab Seputar Mashalihul Mursalah
            Para ulama sepakat tidak boleh menggunakan mashalihul mursalah pada aspek ibadah. Perkara-perkara ibadah tidak bisa direkonstruksi melalui ijtihad atau ra`yu karena ghoir ma’kulil ma’na (tidak bisa dicerna oleh akal). Sedangkan menambah syari’at dalam ibadah merupakan bid’ah yang notabene termasuk kategori menyesatkan.
          Dikalangan semua ulama madzhab hakekatnya menyetujui konsep mashalihul mursalah, hanya permasalahannya ada pada penggunaan istilah mashalihul mursalah ini sebagai mashadir tasyri’ yang mustaqil. Ulama madzhab yang secara khusus menerapkan mashalihul mursalah sebagai mashadir tasyri’ atau ushul madzhab adalah Imam Ahmad bin Hambal (Hambali) dan Imam Malik (Malikiyah). Sedangkan ulama madzhab yang tidak menyertakan mashalihul mursalah sebagai referensi adalah Imam Syafi’i (Syafi’iyyah) dan Imam Hanafi (Hanafiyah).Adapun aliran yang menolak mshalihul mursalah diantaranya aliran Syi’ah dan Dhahiriyah.
Pendapat ulama yang menolak mashalihul mursalah diantaranya:
1.      Sesungguhnya adanya syari’at bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Merupakan hal yang mustahil jika syari’at tidak mengandung unsur maslahat. Oleh sebab itu, apabila mashalihul mursalah digunakan sebagai rujukan berarti ada sebahagian syari’at yang tidak memuat nilai-nilai maslahat karena ini bertentangan dengan firman Allah {أيحسب الإنسان أن يترك سدي} surat Al-Qiyamah:36.
2.      Adanya keraguan dalam mashalihul mursalah, antara mashalihul mu’tabarah dengan mashalihul mulghoh karena tidak bisa menggabungkan keduanya. Maka, dalil tersebut tidak bisa dipakai karena tidak ada yang tahu untuk menunjukan bahwa orang yang menggunakan mashalihul mursalah itu termasuk maslahat yang mu’tabarah bukan mulghiyyah.
3.      Menggunakan mashalih sama dengan kebodohan dalam syari’at karena akan terjadi asimilasi dalam aturan-aturan Islam yang dipengaruhi oleh egosentris dan kekuasaan yang hegemonik. Dan hukum-hukum tersebut dilandasi dengan kepentingan pribadi mereka masing-masing dengan klaim maslahat.
Beberapa alasan yang menerima mashalihul mursalah, adalah sebagai berikut:
1.      Bahwasanya syari’at tidak ditetapkan kecuali untuk kemaslahatan dan nash-nash syari’at beserta hukumnya sangat varian. Penetapan maslahat mursalah merupakan karakteristik dari syari’at itu sendiri.
2.      Kemaslahatan manusia selalu mengalami perubahan karena perbedaan situasi, kondisi dan waktu serta tidak mungkin menyesuaikannya dengan kondisi pada waktu dulu.
3.      Sesungguhnya para mujtahid -baik dari kalangan sahabat atau setelahnya- banyak yang melarapkan ijtihad mereka dalam menjaga kemaslahatan dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.




















BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Tujuan awal dari penerapan syari’at yaitu untuk mewujudkan serta menjaga kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dimana hal tersebut bisa terejawantahkan pada mashalihul mursalah ini sebagai subordinasi dari karakteristik syari’at.
2.      Mashalihul mursalah bisa kita interpretasikan sebagai upaya untuk mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat dengan tetap berpijak pada terma-terma umum dari nash syari’at melalui pendekatan rasio yang akan menghasilkan produk hukum untuk dijadikan undang-undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan pergeseran situasi, kondisi dan waktu.
3.      Maslahat sendiri terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu mashalihul mu’tabarah, mashalihul mulghoh dan mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha.
4.       Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah tidak boleh diterapkan pada aspek ibadah yang sudah final.















DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media
@ http://pwkpersis.wordpress.com
@ http://milhan.blog.friendster.com
Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Khallaf, A. Wahhab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Rineka Cipta


[1][1] http://pwkpersis.wordpress.com
[2][2] Efendi Satria, Ushul Fiqh
[3][3] http:milhan.blog.friendster.com
[4][4] Prof. A. Djazul, Ilmu Fiqh
[5][5] Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh
[6][6] http://pwkpersis.wordperss.com
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar