aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

7 Lapis Langit dan Penghuninya


Isra Miraj merupakan peristiwa besar yang dialami oleh nabi Muhammad SAW. Wajib hukumnya untuk Muslimin mengimani dan meyakini sebagai suatu kebenaran dari Allah SWT. Pada peristiwa itu Nabi Muhammad SAW bertemu Allah SWT, dan mendapat perintah menjalankan salat 5 waktu sehari. Dalam perjalanan bertemu Sang Pencipta, Rasullulah ditemani malaikat Jibril dengan mengendarai Buraaq. Yaitu hewan putih panjang, berbadan besar melebihi keledai dan bersayap. Sekali melangkah, Buraaq bisa menempuh perjalanan sejuah mata memandang dalam sekejap. Rasullulah SAW melewati 7 langit dan bertemu dengan para penghuni di setiap tingkatan. Kabar ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan imam Muslim dari Anas bin Malik.

1. Ketika mencapai langit tingkat pertama,
Rasullulah SAW bertemu dengan manusia sekaligus wali Allah SWT pertama di muka bumi, Nabi Adam AS. Saat bertemu nabi Adam, Rasullulah sempat bertegur sapa sebelum akhirnya meninggalkan dan melanjutkan perjalanannya. Nabi Adam membekali rasullulah dengan doa, supaya rasullulah SAW selalu diberi kebaikan pada setiap urusan yang dihadapinya. Sambil mengucapkan salam, rasullulah meninggalkan langit pertama untuk menuju langit kedua.
2. Sesampainya di langit kedua,
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Seperti halnya di langit pertama, rasullulah disapa dengan ramah oleh kedua nabi pendahulunya. Sewaktu akan meninggalkan langit kedua, Nabi Isa dan Yahya juga mendoakan kebaikan kepada rasullulah. Kemudian rasullulah bersama Malaikat Jibril terbang lagi menuju langit ketiga.
3. Tidak disangka, di langit ketiga,
Rasullulah bertemu dengan Nabi Yusuf, manusia tertampan yang pernah diciptakan Allah SWT di bumi. Dalam pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan sebagian dari ketampanan wajahnya kepada Nabi Muhammad. Dan juga di akhir pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan doa kebaikan kepada nabi terakhir itu.
4. Setelah berpisah dengan Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Muhammad melanjutkan perjalanan dan sampailah dia ke langit keempat.
Pada tingkatan ini, rasullulah bertemu Nabi Idris. Yaitu manusia pertama yang mengenal tulisan, dan nabi yang berdakwah kepada bani Qabil dan Memphis di Mesir untuk beriman kepada Allah SWT. Seperti pertemuan dengan nabi-nabi sebelumnya, Nabi Idris memberikan doa kepada Nabi Muhammad supaya diberi kebaikan pada setiap urusan yang dilakukannya.
5. Sesampainya di langit kelima,
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Harun. Yaitu nabi yang mendampingi saudaranya, Nabi Musa berdakwah mengajak Raja Firaun yang menyebut dirinya tuhan dan kaum Bani Israil untuk beriman kepada Allah SWT.
Harun terkenal sebagai nabi yang memiliki kepandaian berbicara dan meyakinkan orang. Di langit kelima, Nabi Harun mendoakan Nabi Muhammad senantiasa selalu mendapat kebaikan pada setiap perbuatannya. Setelah bertemu, kemudian Nabi Muhammad melanjutkan perjalanannya ke langit keenam.
6. Pada langit keenam,
Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Musa. Yaitu nabi yang memiliki jasa besar dalam membebaskan Bani Israil dari perbudakan dan menuntunnya menuju kebenaran Illahi. Nabi Musa juga terkenal dengan sifatnya yang penyabar dan penyayang selama menghadapi kolot dan bebalnya perilaku Bani Israil.
Selama bertemu dengan Muhammad, Nabi Musa menyambut layaknya kedua sahabat lama yang tidak pernah bertemu. Penuh kehangatan dan keakraban. Sebelum Nabi Muhammad pamit meninggalkan langit keenam, Nabi Musa melepasnya dengan doa kebaikan.
7. Tibalah Nabi Muhammad ke langit ketujuh.
Di langit ini, Nabi Muhammad bertemu dengan sahabat Allah SWT, bapaknya para nabi, Ibrahim AS. Sewaktu bertemu, Nabi Ibrahim sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’muur, yaitu suatu tempat yang disediakan Allah SWT kepada para malaikatnya. Setiap harinya, tidak kurang dari 70 ribu malaikat masuk ke dalam.
Kemudian Nabi Ibrahim mengajak Muhammad untuk pergi ke Sidratul Muntaha sebelum bertemu dengan Allah SWT untuk menerima perintah wajib salat. Sidratul Muntaha merupakan sebuah pohon yang menandai akhir dari batas langit ke tujuh. Masih dalam hadits yang sama, rasullulah SAW menceritakan bentuk fisik dari Sidratul Muntaha, yaitu berdaun lebar seperti telinga gajah dan buahnya yang menyerupai tempayan besar.
Namun ciri fisik Sidratul Muntaha berubah ketika Allah SWT datang. Bahkan Nabi Muhammad sendiri tidak bisa berkata-kata menggambarkan keindahan pohon Sidratul Muntaha. Pada kepecayaan agama lain, Sidratul Muntaha juga diartikan sebagai pohon kehidupan.
Di Sidratul Muntaha inilah Nabi Muhammad berdialog dengan Allah SWT, untuk menerima perintah wajib salat lima waktu dalam sehari
Isra’ Miraj dan Misteri 7 Langit
Isra’ miraj adalah sebuah perjalanan spiritual lintas langit yang menakjubkan. Sebuah perjalanan dari bumi menembus tujuh lapis langit. Bagaimana persepsi anda tentang langit? Seberapa besar, seberapa jauh? Dimana letaknya? Berapa lama untuk mengarunginya? Nah, hikmah yang mesti kita ambil dari peristiwa isra miraj yang mengarungi tujuh langit adalah agar pemahaman kita lebih baik akan makna “Allah Maha Besar.” Langit adalah benda penuh misteri. Namun setidaknya, kita dapat menangkap sedikit informasi tentang langit sebagaimana yang tersebut oleh penciptanya dalam kitab suci.
Tentang Langit

Setidaknya ada dua buah versi pemahaman manusia tentang langit.
1. Langit Sughro (Langit Kecil)
2. Langit Kubro (Langit Besar)

Langit Sughro

Langit sughro adalah langit kecil, yaitu atmosfer yang menyelubungi bumi. Inilah pemahaman tentang langit versi pertama. Pemahaman ini berdasar pada ayat-ayat Al Quran sbb:
“Dialah yang menurunkan air hujan dari langit” (Al An’am 99)
“Demi langit, dzat yang mengembalikan” (At Thariq 11)
“dan langit sebagai atap…” (Al Baqarah 22)
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (Al Mulk 3)
Keempat informasi tentang langit dalam ayat-ayat di atas, sama dengan ciri-ciri atmosfer bumi kita, yaitu:
1. Atmosfer terdiri atas 7 lapis yaitu: Troposfer, Stratosfer, Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer dan Eksosfer
2. Hujan turun dari awan yang membawa uap air. Ayat yang mengatakan “menurunkan air hujan dari langit”, menjelaskan bahwa posisi awan berada di langit, yaitu troposfer (lapisan atmosfer yang pertama)
3. Atmosfer juga berfungsi sebagai atap pelindung dari benda-benda asing seperti batu meteor yang jatuh ke bumi. Benda asing yang menuju bumi akan terbakar karena gaya gesek berkecepatan tinggi dengan atmosfer. Selain itu, atomosfer juga melindungi dari sinar UV yang berbahaya bagi manusia. Itulah fungsi atmosfer sebagai atap, persis seperti yang tertuang dalam ayat yang mengatakan bahwa langit sebagai atap
4. Atmosfer juga berfungsi sebagi dzat yang mengembalikan (At Thariq 11). Ionosfer adalah lapisan atmosfer yang berfungsi untuk memantulkan gelombang radio. Gelombang pemancar radio dari bumi naik ke atas, dan oleh Ionosfer dikembalikan lagi ke bumi. Itulah mengapa kita dapat mendengarkan siaran radio dari belahan bumi lain seperti BBC London dsb. Hujan, juga pada dasarnya merupakan proses pengembalian air ke bumi. Uap air dari bumi naik ke atmosfer, lalu dikembalikan lagi ke bumi. Jelasnya, atmosfer berfungsi sebagai lapisan yang “mengembalikan” sebagaimana dalam ayat “Demi langit, dzat yang mengembalikan”.
Langit Kubro

Selain pemahaman tentang langit yang diartikan sebagai atmosfer bumi, langit adalah alam semesta yang lebih luas dari sekedar atmosfer. Hal ini tertuang dalam ayat sbb:
“Dan Kami hiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang” (QS Al Mulk)
“Demi langit yang mengandung bintang-bintang” (QS Al Buruj)
Bintang terletak di luar atmosfer bumi. Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, dan jauh lebih besar dari bumi. Bintang-bintang di alam semesta membentuk kelompok bintang yang disebut dengan Galaksi. Galaksi kita bernama Bima Sakti yang memuat sekitar 100 milyard bintang-bintang. Bentuknya seperti cakram dengan diameter 80.000 tahun perjalanan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik. Jadi, 80.000 tahun cahaya = 80.000 x 365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km… subhanallah….
Lebih mengagumkan lagi, ternyata galaksi juga jumlahnya luar biasa banyak. Sekitar 100 milliar galaksi akan membentuk cluster galaksi. Bayangkan, betapa besarnya cluster galaksi ini! Anda bisa hitung berapa banyak bintang-bintang yang ada di sebuah cluster galaksi? Subhanallah… Inilah bukti kebesaran Allah.

Cluster galaksi pun banyak jumlahnya. Nah, bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya itulah yang menempati langit (QS Al Buruj). Subhanallah, betapa luasnya langit…
Tentang Tujuh Langit

Sang Maha Pencipta secara tegas menginformasikan bahwa langit berjumlah tujuh. Untuk pemahaman langit versi pertama (Langit sughro), yang mendefinisikan langit adalah atmosfer, maka jelas bahwa yang dimaksud tujuh langit adalah lapisan-lapisan atmosfer yang berjumlah tujuh buah itu. Bagaimana dengan tujuh langit kubro? Inilah yang masih menjadi misteri besar bagi manusia. Ada beberapa pemahaman tentang ini. Ada yang memahami bahwa langit kubro ini juga secara fisik berlapis-lapis, sebagaimana langit sughro.
Ada juga yang memahaminya bukan sebagai lapisan fisik, tapi lapisan dimensi sebagaimana terdapat dalam buku Terpesona di Sidratil Muntaha, karya Agus Mustofa. Jika langit kubro pertama yang kita tempati berdimensi 3, maka langit ke-2, 3, 4 dst adalah alam berdimensi 4, 5, 6 dst. Pemahaman versi ini mengatakan bahwa manusia hidup di langit dimensi 3, jin hidup di alam langit dimensi 4, arwah orang awam hidup di alam langit dimensi 5, arwah para aulia, syuhada, malaikat, dan para nabi hidup di alam langit dimensi yang lebih tinggi tergantung kedudukannya. Waktu peristiwa isra miraj, nabi bertemu dengan beberapa nabi di berbagai lapisan langit. Nabi Muhammad bertemu Nabi Ibrahim di langit ke tujuh, bertemu Nabi Musa di langit ke enam. Juga bertemu dengan nabi Adam, Nabi Yusuf di lapisan langit-langit lainnya. (Agus Mustafa, Terpesona di Sidratil Muntaha).
Penghuni langit berdimensi lebih rendah tidak dapat melihat penghuni langit berdimensi lebih tinggi. Tapi penghuni langit berdimensi lebih tinggi dapat melihat penghuni langit yang berdimensi lebih rendah. Itulah sebabnya:

- Manusia tidak dapat melihat jin tapi jin dapat melihat manusia
- Kita tida bisa mendengar rintihan arwah yang sedang disiksa, tapi arwah dapat mendengar bunyi alas kaki para pengantar jenazahnya

Bagaimanapun, tentang tujuh langit adalah misteri. Hanya Sang Khalik yang tahu pasti. Wallahu alam bishowab.
Tambahan
Informasi di dalam al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an al-Karim, perkataan Tuhan, menuturkan kepada kita tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam dua ayat berikut:
Qs.2 Baqarah:29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Qs.17 Israa’:44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Qs.42 Fushshilat:12. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Qs. 67 Mulk:3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Qs. 65 Thalaaq:12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan SEPERTI ITU PULA BUMI. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Ayat pertama bericara kepada kedua tentang dua sifat langit: bilangan langit itu, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan kamus-kamus bahasa Arab.

Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.
Informasi dalam Sunnah
Seandainya kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita menemukan sebuah hadits yang menegaskan keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian yang lain.
Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah, maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi.’ (HR Bukhari) Kata menimbun di sini diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara bahasa berarti meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya di sini adalah: Bukankah hal ini merupakan mukjizat Nabawi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini telah menentukan bilangan lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk lapisan itu, yaitu meliputi dan menyelubungi.
Bahkan hadits ini memuat sinyal tentang bentuk bulat atau semi-bulat. Al-Qur’an dan Sunnah telah mendahului ilmu pengetahuan modern dalam mengungkapkan fakta yang ilmiah ini. Selain itu, al-Qur’an juga telah memberi kita penelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan menggunakan kata thibaqan.
Meski Rasulullah Muhammad SAW memiliki banyak mukjizat fisik seperti menyembuhkan orang lumpuh, membelah bulan, berbicara dengan binatang seperti Nabi Sulaiman, para sahabat berjalan diatas laut, memberi makan ribuan orang dengan sikit makanan, dan masih sekitar 300 mukjizat lainnya yang telah sy tulis dalam wall post 1 bulan lepas, tapi tetaplah Qur’an ialah Mukjizat terbesar & sepanjang masa.
Itulah mengapa Qur’an disebut mukjizat terbesar & sepanjang masa kerana banyak ayat Qur’an yang baru dapat dibuktikan oleh peralatan modern abad terahir. Mulai dari Astronomi, Geology, Biology, Math, chemistry, Oceanography dan segala bidang.
Sebuah Mukjizat terbesar berupa sebuah buku yang diturunkan melalui seorang Al-Amin (tak pernah berbohong) yang tak dapat membaca dizaman kuno kepada ummat terakhir yang pintar dan selalu membaca buku di zaman modern dan baru dapat dibuktikan oleh peralatan akhir zaman. Siapa lagi yg mewahyukan jika bukan PENCIPTA ALAM SEMESTA?
Jadi,,, 1 bukti lagi… ISLAM TERBUKTI BENAR….
Qs.3 Ali Imran:85 Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka SEKALI-KALI TIDAK AKAN DITERIMA daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi
Qs.3 Ali Imran:19 Sesungguhnya agama disisi Allah HANYALAH Islam. Tiada berselisih orang- orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab- Nya
Informasi di dalam al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an al-Karim, perkataan Tuhan, menuturkan kepada kita tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam dua ayat berikut:
Qs.2 Baqarah:29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Qs.17 Israa’:44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Qs.42 Fushshilat:12. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Qs. 67 Mulk:3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Qs. 65 Thalaaq:12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan SEPERTI ITU PULA BUMI. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Ayat pertama bericara kepada kedua tentang dua sifat langit: bilangan langit itu, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan kamus-kamus bahasa Arab.

Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.
Lazimnya, pada awalnya, kita beragama cuma ikut orang tua sahaja. Kita tak fikir agama benar atau salah.
Jika kita lahir di timur dari keluarga islam, maka kita islam. Jika kita lahir di barat dari keluarga christian, maka kita christian. Jika kita lahir di Himalaya dari keluarga budha, maka kita jadi bhisksu.
19 keyakinan, meski yakin sangat dengan seyakin-yakinnya, maka tetap lah tak bermakna ada 19 Tuhan,tetap Tuhan cm 1 !
1 Tuhan bmakna 1 Agama yg sebenar,macam mana kita boleh tahu sebuah agama benar???
Jadi, dalam soalan ini kita TIDAK BICARA TENTANG KEYAKINAN, tapi kita paparkan BUKTI KEBENARAN.
Jika Islam Benar, apa buktinya?

Jika Christian Benar, apa buktinya?
Untok membuktikan sebuah agama benar, maka tak boleh ditengok dari kesalahan ummatnya, kerana ummat tetaplah manusia yg tak sempurna.
Jika di negeri muslim ramai orang miskin yg beragama islam, maka itu tak bererti islam buruk, kerana di philipin yg miskin sangat agamanya ialah katholik.
Jika di negeri muslim ramai pesalah/penjahat yg masuk lokap/penjara ialah ramai yg beragama islam, maka tak bererti islam buruk, kerana di brazil yg menjadi pesalah/napi di lokap ialah beragama christian atau katholik.
Pembuktian sebuah agama benar pun tak boleh ditengok dari pendapat orang, kerana ada ramai pendapat orang dimuka bumi ini yg satu sama lain berbeza.
Pembuktian sebuah agama benar kena dilihat dari kitabnya, jika memang kitab itu dari Tuhan, maka TAK BOLEH ada kesalahan sesikit apapun.
Mari kita sama buktikan 2 hal sahaja:
1. Bukti nyata Qur’an ialah mukjizat terbesar & sepanjang masa
2. Bukti nyata alkitab christian ramai kesalahan soalan ajaran & ayatnya

Tambahan Lagi
Ilmu Alamiyah Dasar
KATA PENGANTAR
Segala puji kepunyaan Allah Rabb semesta alam, semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw dan seluruh kerabat, para sahabat dan para pengikut-pengikutnya. Sehingga mendapatkan kemudahan dalam mengerjakan makalah “Ilmu Alamiyah Dasar ” yang harus diselesaikan.

Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada semua pihak yang ikut serta dalam mendukung makalah ini, sehingga diharapkan bisa menghasilkan dan memaparkan penjelasan yang lebih jelas.
Dalam penulisan ini, pasti tidak akan luput dari kesalahan. Sehingga diharapkan bagi pembaca agar memberikan kritik dan saran supaya penulis mengetahui dan memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam penulisan ini.
Akhirnya dengan ini, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat baik dari pembaca maupun penulis.

Malang, 11 Juni 2011
Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Dalam Al-Quran, telah banyak mengupas dan menjelaskan secara rinci dan jelas bahwa apa yang ada di dalam bumi dan jagat raya ini adalah penguasaan Allah SWT. Dalam hal ini akan di paparkan tentang Fii sittati ayyam, Sab’ah Samawat, dan Rowasiyah, yang di jelaskan dalam berbagai tafsir. Di antaranya dari tafsir klsik dan kontemporer, yang bertujuan untuk bisa mengetahui apa maksud dari kalimat-kalimat tersebut.

2. 2 Rumusan Masalah
 Bagaimana Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Klasik/ jalain?Ø

 Bagaimana Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Bir Ra’yi?Ø
 Bagaimana Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Kontrmporer ?Ø
 Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik?Ø
 Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Bir Ra’yi?Ø
 Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer?Ø
 Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir Klasik?Ø
 Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir Bir Ra’yi?Ø
 Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir Kontemporer?Ø
 Bagaimana Perbandingan dari Ketiga Kalimat-Kalimat itu?Ø

3. 3 Tujuan

Dengan ditulisnya makalah ini, bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kalimat-kalimat itu. Sehingga bisa mengamalkan apa yang ada di dalam memperjuangkan Agama yang paling mulia disisi Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Klasik
Dalam Al-Qur’an, telah memaparkan tentang mana dari Fii Sittati Ayyam yang ada pada surat Ke-7 Al-A’raf (Tempat Yang Tinggi) ayat 54 yang berbunyi:

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa”.
Menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada zaman itu masih belum ada matahari. Akan tetapi ji9ka Allah menghendakinya niscaya Ia dapat menciptakannya dalam sekejab mata, adapun penyebutan hal ini, di maksud guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan sesuatu (lalu Dia bersemayam di atas Arasy) Arasy menurut istilah bahasa artinya singgasana raja, yang dimaksud dengan bersemayam ialah yang sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya (Dia menutupkan malam kepada siang) bisa dibaca Takhfif yakni Yughsyii dan dibaca Tasydid, yakni Yughasysyii, artinya: keduanya itu saling menutupi yang lain secara silih berganti (yang mengikutinya) masing-masing di antara keduanya itu mengikuti yang lainnya (dengan cepat) secara cepat (dan di ciptakan-Nya pula matahari dan bitang-bintang) dengan dibaca Nashab diathafkan kepada As Samaawaat, dan dibaca Rafa’ sebagai Mubtada sedangkan khabarnya ialah (masing-masing tunduk) patuh (kepada perintah-Nya) kepada kekuasaan-Nya (ingalah, menciptakan itu hanya hak Allah ) semuanya (dan memerintah) kesemuanya adalah hak-Nya pula (maha suci) Maha Besar (Allah, Tuhan) pemelihara (semesta Alam).

Proses penciptaan alam semesta dalam Al-Qur’an sering menggunakan istilah sittati ayyam atau biasa di sebut ”enam hari”. Istilah ini antara lain terdapat pada surat [7]: 54, [10]: 3, [11]: 7, [25]: 59, [32]: 4, dan [50]: 38.
Selain ayat-ayat tersebut, ada juga beberapa ayat yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta seperti dalam surat [41]:9, 10, 12 dan [79]: 27-33.
Untuk memahami arti sittati ayyam dalam konteks penciptaan alam semesta, masing-masing ayat tersebut tidak bisa ditafsirkan secara terpisah. Para mufassir meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian yang lain (Al-Qur’anu yufassiru ba’dluhu ba’dlan). Sehingga istilah sittati ayyam harus ditafsirkan dengan melihat ayat-ayat lain yang terkait penciptaan alam semesta.
Akan tetapi, jika kita membandingkan ayat-ayat tersebut, akan terlihat sebuah permasalahan dalam Surat Fushshilat ayat 9, 10, dan 12. Dalam ayat 9 disebutkan: ”….yang menciptakan Bumi dalam dua masa……”, kemudian dalam ayat 10: ”…..menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa….”, dan ayat 12: ”maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…….”.
Jika masa-masa dalam ketiga ayat tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya menjadi 8 masa, bukan 6 masa (sittati ayyam) seperti yang telah disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Apakah hal ini berarti ada kontradiksi dalam Al-Qur’an? Tentu tidak akan ada mufassir yang beranggapan demikian.
Sebagian mufassir kemudian mencoba menafsirkan rangkaian ayat tersebut sebagai berikut. Mula-mula Bumi diciptakan selama dua masa (surat [41]:9). Setelah itu, diciptakan pula isinya selama dua masa. Jadi, istilah ”empat masa” dalam surat [41]:10 sebenarnya memasukkan dua masa penciptaan Bumi dalam ayat sebelumnya. Dilanjutkan dengan penciptaan langit selama dua masa (surat [41]:12), maka jumlah keseluruhannya ialah enam, bukan delapan masa.
Dalam ketiga ayat tersebut di atas, terdapat tiga istilah yang agak berbeda maknanya, namun diterjemahkan sama rata sebagai ”penciptaan”. Pertama, khalaqa pada surat [41]:9 yang bermakna ”menciptakan dari bahan yang belum ada sebelumnya”. Kedua, ja’ala dalam surat [41]:10, yang bermakna ”menyusun, mengolah bahan yang telah ada sebelumnya menjadi ciptaan baru”. Istilah ketiga ialah qadla dalam kata faqadlahunna (surat [41]:12). Istilah ini bermakna ”menetapkan”. Penggunaan istilah qadla (”menetapkan”) dalam ayat [41]:12 terkait dengan penciptaan langit: ”Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…”
Selain Al-Qur’an, sejumlah hadits juga mengabarkan penciptaan alam semesta. Salah satunya adalah hadits At-Thabari nomor 17.971 yang terdapat dalam Shahih Muslim. Berbeda dengan Al-Qur’an, hadits ini menjelaskan bahwa alam semesta tercipta dalam 7 hari. Menurut hadits tersebut, Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu. Lalu, menciptakan gunung pada hari Ahad dan pepohonan di hari Senin. Kemudian menciptakan hal-hal negatif pada hari Selasa, cahaya di hari Rabu, dan mengembangbiakkan ciptaannya pada hari Kamis. Terakhir, Allah menciptakan Adam pada hari Jum’at ba’da Ashar.
Hadits lain juga menyebutkan bahwa Allah SWT memulai penciptaan Bumi pada hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan selesai hari Jum’at (6 hari). Asumsi yang digunakan ialah 1 hari dalam hadits ini sama dengan 1000 tahun. Jadi, mana yang benar? Enam, tujuh, atau berapa?
Kita harus ingat bahwa penyebutan angka tidak mesti bermakna eksak. Misalnya saja angka 7 dalam bahasa Arab menunjukkan jumlah yang banyak, kaki seribu yang berarti berkaki banyak, dan 1001 malam untuk menggambarkan banyaknya kisah di Negeri Persia. Jadi, apakah sittati ayyam memang menyebutkan tahapan penciptaan alam semesta, atau sekadar menunjukkan bahwa penciptaan alam itu sangat rumit sehingga perlu digambarkan dalam bilangan yang lebih dari tiga? Dalam tafsir lama maupun modern, belum ada penjelasan rinci tentang sittati ayyam.
Istilah ini diterima secara imani saja, bukan sebagai sebuah isyarat ilmiah. Meskipun demikian, bukan berarti penafsiran ilmiah tidak diperlukan. Tafsiran ilmiah apapun atas sittati ayyam dapat diterima asalkan tidak bertentangan dengan tafsiran ayat lain.
Dalam penafsiran dikenal teori munasabah, yaitu sebuah ayat yang selalu terkait dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat itu berisi penjelasan mengenai karya Allah SWT seperti penciptaan alam, selalu mengawali ayat-ayat berisi penjelasan mengenai tauhid. Sehingga, setiap penafsiran mengenai penciptaan alam harus bermuara pada ketauhidan.
Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang mengagumkan, sebagaimana ungkapan Ibnu Abbas, ”Al-Qur’an itu bagaikan permata yang memancarkan cahaya dari sisi yang berbeda-beda.”

2. 3 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Bir Ra’yi

Dalam tafsir ini, menjelaskan tentang fii sittati ayyam yang tertulis juga dalam Al-Qur’an surat al- A’raf ayat 54:
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada lagi kamu selain-Nya satu penolong pun dan tidak juga pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”.
Perbedaan pendapat ulama tentang makna sittati ayyam atau enam hari telah di jelaskan ketika menafsirkan Qs. Al-A’raf [7]: 54 dan Qs. Hud [11]: 7. Di sini telah mengemukakan bahwa ada ulama yang memahami kalimat tentang enam hari itu dalam enam kali 24 jam. Namun, menurut pendapat ulama yang lain bahwa manusia mengenal perhitungan. Perhitungan ini, berdasarkan kecepatan cahaya, suara, atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan seperti yang ditulis ilmuan Mesir Zaghlul an Najjar, pada masa silam peredaran bumi lebih cepat dari masa-masa sesudahnya, dan ini juga berarti pertambahan jumlah hari-hari dalam sebuah tahun.
Pada periode Cambrian, sekitar 600 miliun tahunyang lalu setahun sama dengan 425 hari, lalu pada pertengan periode Ordovician sekitar 450 miliun tahun yang lalu jumlah hari dalam setahun sama dengan 385 hari. Dengan demikian bumi dari hari ke hari melambat peredarannya sehingga sekarang setahun sama dengan 365 hari atau 365 hari, lima jam , 49 menit dan 12 detik.

2. 3 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Kontrmporer

Jika dilihat dari urutan pembahasan ketiga ayat tersebut, maka ”penetapan” tujuh langit berada pada bagian paling akhir rangkaian penciptaan. Namun, mengingat alam semesta senantiasa berproses, maka ”menetapkan” di sini tidak bisa disamakan dengan ”menyelesaikan”. Yang ”selesai” bukanlah fisik langit atau alam semesta, melainkan hukum-hukumnya. Dengan hukum-hukum itulah, alam semesta terus menerus berproses.
Hal lain yang menarik ditinjau adalah kata sittati ayyam dalam Al-Qur’an selalu diawali oleh kata fii yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada jeda. Berdasarkan ini dan uraian mengenai ketiga istilah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta terjadi melalui sejumlah tahapan yang kontinyu: dimulai dengan penciptaan dari ketiadaan, penciptaan baru dari ciptaan-ciptaan sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum alam.

2. 4 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” yakni sebagian di antaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan.
Dalam pengertian ini, Allah telah menciptakan langit dengan berlapis-lapis yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena dalam perkembangan dan pengetahuan yang telah terkumpulkan bahwa langit yang ketujuh itu terletak di super galaksi yang banyak sekali gumpalan-gumpalan meteor dan byak galaksi yang terkumpul didalamnya.
2. 4 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Bir Ra’yi
Dalam Al-qur’an juga telah dipaparkan dengan secara rinci, yaitu dalam Al-Qur’an surat Mulk ayat 3-4:
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikitpun ketidak seimbangan. Maka ulangilah pandangan itu adakah engkau melihat sedikitpun keretakan? Kemudian ulangilah pandangan itu dua kali niscaya akan kembali kepadamu pandangan itu kecewa, dan ia menjadi lelah.”
Ayat diatas menjelaskan bahwa: yang telah menciptakan tujuh langit berlapis lapis seresai dan sangat harmonis: Engkau siapa pun engkau kini dan masa datang tidak melihat pada ciptaan-Nya yang kecil maupun yang besar ketidaksinambungan.
Sab’a samawat/ tujuh langit di pahami oleh para ulama’ dalam arti planet-planet yang mengitari tata surya, selain bumi karena itulah karena dapat terjangkau oleh pandangan mata serta pengetahuan manusia, paling tidak saat turunnya al-Qur’an. Hemat penulis ayat dapat dipahami juga lebih umum dari pada itu, karena angka tujuh bisa merupakan angka yang menggantikan kata banyak.
Dalam Al-Qur’an, diungkapkan juga dalam surat Hud ayat 7:
“Sesungguhnya Allah telah menentukan keterangan-keterangan dari seluruh makhluk, seluruhnya Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu. Dan ‘ArsyNya adalah di atas air”.
Ayat ini telah memberikan isyarat, bahwasannya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diaturkan terlebih dahulu sampai kepada hal yang berkecil-kecil, 50.000 tahun sebelum ketujuh langit dan bimi itu dijadikan. Maka bertambah dapat difahamkan bahwa menciptakan ketujuh langit diserambi bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu, hanya Allah yang Maha mengetahuinya. Itu juga dijelaskanlah dalam ayat ini, bahwasannya dibawah naungan langit yang tinggi, di atas dihamparan bumi yang luas I I, manusia hidup ialah untuk di cobai, sanggupkah dia mengerjakan perbuatan yang baik atau tidak.
Manusia wajib selalu mengasuh budinya dan melatih akalnya, supaya dia mendapat cetusan dari ilmu Tuhan. Tidak ada barang suatu pun ala mini, baik di langit ataupun di bumi yang dijadikan Tuhan dengan kacau-balau. Penambahan ilmu akan menambah kuatnya iman, dan iman yang kuat akan menambah baiknya dan tingginya mutu amalan.

2.5 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer

Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi tentang makna sab’a samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit.
Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada langit ke dua sampai ke tujuh. Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan. Benda-benda langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam secara bergantian dari yang terjauh ke yang terdekat. Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan sebagai hari Sabtu (Saturday — hari Saturnus — atau Doyobi dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari dengan nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya. Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday, getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari. Pemahaman tentang tujuh langit sebagai tujuh lapis langit dalam konsep keislaman mungkin bukan sekadar pengaruh konsep geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha Secara sekilas kisah mi’raj di dalam hadits shahih sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.
Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi. Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada QS 67:3 dan 71:15 sab’a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan “tujuh langit berlapis-lapis” atau “tujuh langit bertingkat-tingkat”. Walaupun demikian, itu tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.
“Bertingkat-tingkat” berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak sebidang seperti titik-titik pada gambar di kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah “tak berhingga” dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan “tujuh” dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah.” Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya. Sama halnya dalam Q. S. 9:80: “…Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun….” Jelas, ungkapan “tujuh puluh” bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali.

Jadi, ‘tujuh langit’ semestinya difahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu apa makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh dalam kisah mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra’ mi’raj adalah langit ghaib. Dalam kisah mi’raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib.

Rowasiyah dalam Tafsir Klasik
Pada Al- Qur’an Surat Fusshilat ayat 10. Kata fiiha Rawasiyah yang berarti di Bumi itu gunung- gunung yang kokoh dan kuat.
Rawasiyah yang berarti pengokoh dan peneguh, gunung- gungn adalah penghambat angin, laksana katalisator pembagi strom listrik jangan langsung saja, dan penampung hujan dan mengalir dengan teratur dari puncak-puncak.

Rawasi terambil dari kata arr-rasw yakni kemantapan pada satu tempat. Dari sini gunung- gunung, karena ia kekar tidak bergerak dari tempatnya, di tunjuk dari kata rawasi yang merupakan jama’ dari kata raasiin.

Rowasiyah dalam Tafsir Bir Ra’yi
Dalam Al-Qu’an juga di jelaskan dalam surat an-Nahl aayat 15:
“Dan dia mencampakkan di bumi gunung-gunung supaya ia tidak goncang bersama kamu: dan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk”.

Kata rawasi terambil dari kata ar-rasw atau ar-rusuwwu yakni kemantapan pada satu tempat. Dari sini, gunung-gunug, karena ia kekar tidak bergerak dari tempatnya, di tunjuk dengan kata rawasi yang merupakan bentuk dari kata rasin.

Rowasiyah dalam Tafsir Kontemporer
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan pada surat Al-Ambiya’ ayat 32:
Rawasiy, yang bermakna sangat kokoh karena akar-akarnya menancap jauh kedalam lapisan kulit. Akar-akar itu dapat di ibaratkan seperti pasak penyangga, selain itu kerapatan-kerapatan jarak gunung-gunung dan akar-akarnya itu tidak lebih dari kerapatan kulit bumi yang mengelilinginya. Itu semua di ciptakan demikian agar, tekanan dalam kulit bumi terbagi secara merata ke semua arah. Dengan demikian tidak terjadi pergeseran atau perenggangan dan menimbulkan pengaruh yang berarti.
Dan juga di sebutkan dalam surat an-Naml ayat 61 yang dijelaskan bahwa antara gunung-gunung yang tertancap di bumi itu sungai-sungai, dan yang menjadikan untuknya yakni untukm bumi itu gunung-gunung yang kokoh sehingga bumi tidak goncang dan menjadikan pula antara dua laut pemisah sehingga air laut dan sungai tidak tercampur.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak yang sudah kita ketahui bahwa fii sittati ayyam artinya enam masa. yang berarti Allah telah menciptakan apa yang ada di bumi dengan sangat sempurna. Dalam penafsiran ini, menyebutkan bahwa pada awal bumi itu diciptakan selama dua masa, kemudian diciptakan beserta isinya selama dua masa. Jadi, makna dari ”empat masa” sebenarnya memasukkan dua masa penciptaan bumi. Di teruskan dengan penciptaan langit selama dua masa, sehingga jumlah keseluruhannya adalah enam, bukan delapan masa.
Sab’ah samawat, artinya sebagai tujuh langit, dalam penafsiran ini menjelaskan tentang planet-planet yang mengitari tata surya, yaitu selain bumi. Di karenakan bisa terjangkau dengan pandangan mata dan pengetahuan manusia. Dan letaknya di super galaksi yang banyak terkumpul meteor-meteor dan galaksi-galaksi.
Rawasiyah, dalam tafsir ini banyak yang menjelaskan bahwa makna dari Rawasiyah itu adalah gunung. Karena didalam bumi, ada suatu gumpalan yang sangat kokoh dan kuat sehingga bisa menopang dan menyeimbangkan dataran atau apa yang ada di dalam bumi.

DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir Al-Azhar,Singapura: Pustaka Nasional,1993.

Jalaluddin, Imam al-Mahali & Imam as-suyuthi, Tafsir Jalalain jilid 2, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al- Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Internet.
Tujuh langit tidak berarti tujuh lapis, diakses pada tanggal 10 Juni 2011 dari http://artikelislami.com.

“enam hari” Penciptaan Alam Semesta, diakses pada tanggal 10 juni 2011 darihttp://artikelislami.com.

Dalam bahasa Al-Quran, kata “sab’a” (harfiah: tujuh) tidak selalu berarti sebuah bilangan bulat antara 6 dan 8. Kata sab’a terkadang menunukkan jumlah yang banyak sekali. Misalnya “tujuh lautan” di ayat 31: 27, menunjukkan jumlah yang banyak —artinya: andai sebanyak apa pun lautan dijadian tinta, ia tak akan sanggup menuliskan semua ilmu Allah. Fakta menarik: kata “tujuh langit” muncul tujuh kali dalam dua redaksi: sab’a samawat di ayat 2: 29, 41: 12, 65: 12, 67: 3, 71: 15 dan as-samawat as-sabu di ayat 17: 44, dan 23: 86
TAFSIR RINGKAS QS. 67: 3

“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.”
AL ‘ALIM: Al-Quran Edisi Ilmu Pengetahuan Munasabah, hlm. 562

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar