aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

METODE KEFILSAFATAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan berfilsafat ialah merenung. Tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung – untungan. Cukup mudah untuk melukisakan perenungan kefilsafatan, tetapi jauh lebih sulit untuk dapat memulai dan melanjutkannya. Tata cara mempunyai arti yang lebih daripada sekedar melukisakn hasil akhir. Tata cara membutuhkan hal – hal terinci yang lebih bnayak mengenai metode –metode yang harus dipakai dan sejumlah contoh tentang penerapan metode – metode tersebut.
Metode berfilsafat dalam prakteknya adalah metode para filusuf berfilsafat. Sudah menjadi bawaan kodrat dunia filsafat setiap filusuf berfilsafat mandiri bukan hanya berbeda satu sama lain, bahkan bertentangan secara diametral. Setiap filusuf berfilsafat menurut pendiriannya, fokus perhatiannya, dan tentu dengan cara atau metode masing – masing.
Watak filsafat yang menjadi akar ilmu, menjadikannya tidak mau ditentukan oleh ilmu, filsafatlah yang harus menentukan ilmu. Pada titik yang sama, para filusuf juga tak mau ditentukan oleh ilmuan, bahkan antar filusufpun tidak mau saling menentukan dan ditentukan. Akibatnya, sepanjang sejauh filsafat masing – masing filusuf menentukan metodenya sendiri. Hampir setiap filusuf pada dasarnya memiliki metode khasnya sendiri, meski terdapat juga sejumlah filusuf yang mirip atau berdekatan metodenya.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai metode – metode filasafat yang digunakan, menunjukan bagaimana memulai dan bekerja. Selanjutnya untuk sampai pada kesimpulan, akan dijelaskan bagaimana cara menguji suatu pikiaran dan melakukan kritik terhadapnya. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan memeriksa contoh – contoh perenungan kefilsafatan, menunjuknan fakta – fakta yang beragam, dan mengusahakan agar kita mencobanya sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metode
Secara etimologi metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos”. Methodos adalah gabungan dari dua kata yaitu Meta dan Hodos. Meta berarti “dibelakang”, “dibalik” atau “sesudah”, sedangkan Hodos berarti “jalan” atau “cara”. Jadi metode adalah apa yang ada dibalik cara atau jalan.[1]
Dalam konteks keilmuan metode berarti cara atau prosedur yang ditempuh dalam rangka mencapai kebenaran. Langkah –langkah dalam metode harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dihadapan akal budi, runtut, logis, rasional, dan konsisten. Metode dimaksudkan agar langkah – langkah pencarian kebenaran – kebenaran ilmiah dapat dilaksanakan secara tertib dan terarah, sehingga dapat dicapai hasil optimal.

Metode dapat dibedakan menjadi dua, yaitu metode umum dan metode khusus.
1.      Metode Umum, terdiri dari metode deduktif-induktif dan metode analisis-sintesis.
2.      Metode Khusus, terdiri dari metode operasional khas tiap –tiap ilmu atau kelompok ilmu.
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai metode khasnya masing-masing. Metode berkaitan dengan operasi atau riset dalam ilmu yang bersangkutan. Metode dalam khasanah dunia filsafat ada dua :
1.      Metode berfilsafat yaitu cara berfilsafat.
2.      Metode penelitian filsafat yaitu alat atau perangkat untuk mengkaji, meneliti, atau menelaah karya-karya filsafati. Jadi, ini merupakan instrument penelitian.
B.     Tata Cara Perenungan Kefilsafatan
Filsafat sebagai ilmu memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Filsafat memahami realitas secara mendalam, menemukan jawaban yang paling final dari berbagai kemungkinan jawaban. Filsafat menyingkapkan sebuah bagan konseptual dari pemahaman manusia atas realitas. Filsafat membeberkan sebab pertama dan sebab terakhir dari pencarian manusia akan kebijaksanaan.
Ini mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu memiliki metodologi keilmuan yang khas. Metode atau cara kerja keilmuan menunjukkan bagaimana sebuah ilmu dioperasikan dalam cara tertentu dan khas dalam memecahkan suatu persoalan alam.
Dengan metodologi kefilsafatan sebenarnya mau ditunjukkan bagaimana filsafat dipraktikkan atau dioperasikan dalam cara tertentu untuk mencapai jawaban yang ultim dan final atas realitas.
Dalam mengungkap sebab terdalam dari realitas, seorang filsuf berusaha menyusun suatu bagan konseptual. Dalam menyusun bagan konseptual ini, seorang filsuf bisa melakukannya dalam dua cara. Pertama, dia melakukan analisa terhadap suatu istilah untuk menemukan atau mengungkapkan makna terdalam dari istilah tersebut. Kedua, dia mengumpulkan hasil-hasil penyelidikan ke dalam sebuah sintesa.[2]
Dengan demikian, apa yang dilakukan seorang filsuf dalam refleksi filosofisnya adalah melakukan analisa atau sintesa. Inilah sebetulnya metode dasar kefilsafatan, yakni menganalisa dan/atau mensintesa.
C.    Analisa
1.      Ekstensi dan Intensi
Maksud pokok mengadakan analisa ialah melakukan pemeriksaan konsepsional atas makna yang dikandung oleh istilah-istilahyang digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat. Pemeriksaan ini mempunyai dua segi. Berusaha memperoleh  makna baru yang terkandung dalam istilah-istilah yang bersangkutan dan menguju istilah-istilah itu melalui penggunaanya atau dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya.[3]
Sederhananya analisa berarti perincian atau pemerian. Jadi, menganalisa sesuatu tidak lain adalah memerinci atau memerikan sesuatu.Menganalisa suatu kata/istilah dengan maksud untuk menyingkapkan makna dari kata itu. Makna baru bisa saja terungkap karena proses pemerian atau perincian istilah itu.
Di sini seorang filsuf bisa menempuh 2 cara. Pertama, dia menguji istilah tersebut dari sisi penggunaannya. Dia akan melakukan pengamatan terhadap contoh-contoh penerapan istilah itu. Di sini si filsuf memahami suatu kata atau istilah secara ekstensif. Misalnya, seorang filsuf memahami kata atau istilah “keberanian”. Dari segi ekstensi, dia mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana kata ini digunakan, sejauh mana kata “keberanian” menggambarkan realitas tertentu, bagaimana “keberanian” dikomparasikan dengan sifat atau trait lainnya dari “yang ada”, dan sebagainya. Untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah, seorang filsuf juga bisa melakukannya dengan mendefinisikan kata atau istilah itu secara langsung. Ini yang disebut dengan definisi ostentif. Misalnya, kata “keberanian” dalam penalaran “Tentara harus memiliki keberanian supaya bisa mengalahkan musuh”, bisa ditunjukkan secara langsung apakah “keberanian” di sini menjelaskan tentara secara universal (semua tentara) atau terbatas pada korps tertentu yang siap berperang (makna partikular).Kedua, seorang filsuf menyingkapkan makna kata dengan menganalisa sifat-sifat kata atau istilah tersebut. Kembali ke contoh kata “keberanian” di atas. Seorang filsuf berusaha menyingkapkan makna terdalam dari “keberanian” dengan menganalisis sifat-sifat yang terkandung dalam istilah itu.[4]
Contoh:
Mari kita menganalisa kata atau konsep “penderitaan” (suffering). Makna kata ini bisa ditunjukkan dengan mendefinisikan secara ostensif (pendekatan ekstensi) kata itu, yakni gangguan atau kekacauan (disorder) atas keharmonisan batin manusia yang disebabkan oleh daya-daya fisik, mental, dan spiritual yang dialami seseorang secara tertutup (terisolasi) serta mengancam eksistensi manusia itu sendiri.Definisi ostentif atau pendekatan ekstensif ini sekaligus membatasi penderitaan hanya pada masalah gangguan keharmonisan batin manusia. Mengapa keharmonisan batin manusia ini terganggu, dijawab dengan merujuk kepada adanya daya-daya fisik, mental, dan spiritual yang dialami seseorang secara rerisolasi. Dan bahwa jika masalah ini tidak diatasi, akan membahayakan eksistensi si penderita itu sendiri. Inilah keluasan (ekstensi) kata penderitaan itu.
Makna kata penderitaan bisa juga dianalisa secara intesif, misalnya dengan meneliti struktur manusia. Bahwa penderitaan adalah bagian dari hidup manusia, bahwa penderitaan muncul atau lahir karena penyalahgunaan kebebasan manusia. Bahwa struktur manusia terdiri dari kehendak bebas (free will), akal budi, dan tanggung jawab. Penderitaan terjadi karena kehendak bebas tidak dikendalikan dan diatur oleh akal budi. Bahwa penderitaan terjadi ketika seseorang menghindari atau menolak untuk bertanggung jawab atas kehidupan, baik kehidupannya sendiri sebagai individu maupun kehidupan kelompok (sosial).[5]
2.      Makna yang Terkandung Oleh Suatu Pernyataan
Analisa tidak dimaksud untuk menangkap sebuah makna final. Bahkan ketika subjek memahami makna penderitaan, misalnya, makna tidak menjadi jelas dengan sendirinya. Dengan analisa konsep, seorang filsuf ingin memperoleh kejelasan sebesar mungkin tentang makna yang dikandung oleh suatu istilah atau pernyataan.
Misalnya kita anggap saja bahwa kita tahu istilah “man”, “anilmality”,dan “is:.apakah dengan demikian kita mengetahui makna “man is an animal”?makna apakah yang terkandung dalam kalimat itu?apakah kalimat itu berarti bahwa “ada manusia di dalam ruang dan waktu yang juga merupakan hewan”?. Setelah melakukan analisa terhadap pernyataan tadi, tampaklah bahwa apa yang dimaksudkan bila mengatakan “man is an animal ialah “ bila sesuatuitu adalah manusia, maka sesuatu tersebutjuga merupakan hewan”.
Maksud segala analisa ini adalah untuk memperoleh kejelasan sebesar mungkin mengenai makan ayang dikandung oleh suatu pernyataan. Jika kita berusaha untuk memahami, maka kita perlu kejelasan tentang makna yang harus kita pahami itu.[6]
3.      Makna Tidak Identik Dengan Kebenaran
Analisa terhadap makna tidaklah menetapkan kebenaran atau kesesatan kalimat yang bersangkutan. Jika kita mengetahui makna kalimat “hari telah tengah malam”, ini tidak berarti bahwa kini telah tengah malam. Juga tidak berarti bahwa kini bukan tengah malam. Kalimat tersebut mempunyai arti meskipun seandainya kalimat tadi tidak benar, dan meskipun kita tidak dapat menentukan apakah benar ataukah sesat. [7]
Memahami makna suatu konsep atau istilah tidak identik dengan telah menemukan suatu kebenaran. Makna bisa sangat rasional dan logis, tetapi belum tentu benar.
4.      Filsafat Kritis(critical philosophy)
Filsafat yang mengambil jalan analisa (memahami/memerikan konsep atau kata) disebut juga filsafat kritis (critical philosophy). Disebut kritis karena menganalisa secara mendalam sebuah konsep/kata, membedakan fakta-fakta yang dianalisa dan (hasil) analisa. Ingat, makna tidak identik dengan kebenaran.[8]
D.    Sintesa
1.      Filsafat Spekulatif Dan Penyusunan Sistem
Secara sederhana sintesa dipahami sebagai pengumpulan. Maksud sintesa yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia.[9] Dengan metode sintesa seorang filsuf akan mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan dunia. Berbagai pengetahuan disusun sebegitu rupa sehingga menghasilkan suatu kesatuan pemikiran. Pandangan dunia yang dihasilkan melalui metode sintesa ini menghasilkan refleksi filosofis yang sifatnya spekulatif (lawan dari metode analisa yang disebut filsafat kritis).
2.      Contoh Filsafat Spekulatif Dalam Pemikiran Seorang Rene Descartes
Descartes dalam bukunya berjudul Perenungan tentang Filsafat Pertama (1641) mengemukakan 6 tahap perenungan atau refleksi sebagai berikut.
Perenungan pertama
Subjek meragukan segala sesuatu. Dengan meragukan segala sesuatu, kita membebaskan diri kita dari setiap prasangka dan mempersiapkan suatu jalan yang sangat sederhana bagi kita untuk dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Di mana batas di mana kita tidak meragukan lagi? Keraguan untuk sementara berhenti ketika sesuatu telah ditemukan sebagai sungguh-sungguh benar.
Perenungan kedua
Meragukan segala sesuatu bersifat metodis. Sebagai metode dalam mencapai suatu pengetahuan yang jelas dan terpilah-pilah, subjek yang berpikir meragukan segala sesuatu, termasuk meragukan hal yang sebenarnya sudah paling sedikit diragukan. Nah, setelah segala sesuatu diragukan, apa yang tinggal atau bertahan sebagai sebuah kebenaran? Bagi Descartes, paling tidak subjek yang sedang meragukan itu tidak bisa diragukan. Jadi, dengan meragukan segala sesuatu, subjek yang meragukan itu menegaskan eksistensinya sebagai ada (eksis). Dalam kata-kata Descartes sendiri, “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada / I think therefore I am).
Perenungan ketiga
Pandangan tentang dualism tubuh – jiwa. Bagi Descartes, tubuh adalah rex extensa. Tubuh dapat dipahami karena bisa dibagi-bagi. Sementara akal adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi, Akal tidak bisa dipahami kecuali sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi itu. Jika tubuh adalah rex extensa, akal (jiwa) adalah rex cogitans. Tubuh adalah aksidensi, sementara akal dan jiwa adalah substansi murni. Bagi Descartes, dualism ini penting untuk menyelamatkan jiwa dari kehancuran tubuh. Ketika tubuh mengalami kehancuran, jiwa tidak terpengaruh. Jiwa dapat mengalami hidup tanpa tubuh.
Pada perenungan ketiga ini Descartes juga menjelaskan mengenai 3 idea bawaan (innate idea). Disebut idea bawaan karena sudah ada dalam akal dan pikiran manusia sejak ia dilahirkan. Ini dikontraskan dengan idea yang terbentuk dalam pikiran manusia karena pengalaman. Gagasan mengenai idea bawaan ini memang khas pemikiran Descartes di abad ke-17.  Tiga idea bawaan menurut Descartes adalah (1) kebertubuhan (kejasmanian) atau res extensa. Meskipun bisa menipu, kebertubuhan adalah idea bawaan. Bagi Descartes, kejasmanian atau kebertubuhan adalah materi. Materi adalah substansi karena tidak mungkin Allah yang Maha Benar menipu manusia mengenai kejasmaniannya. (2) Pikiran (res cogitans). Ini juga termasuk idea bawaan (sejak lahir). Bagi Descartes, pikiran adalah sebuah substansi yang berdiri sendiri. Dialah jiwa. (3) Allah termasuk idea bawaan, karena manusia memiliki idea tentang kesempurnaan. Sama seperti kejasmanian dan jiwa, Allah pun sebuah substansi. Allah ada karena pikiran memiliki idea mengenai Allah. Argumen semacam ini dalam pembuktian akan adanya Allah disebut argument ontologism.
Perenungan keempat
Setelah meragukan segala sesuatu dan manusia mencapai kesadaran diri (diri yang sedang meragukan itu eksis), manusia menangkap dan memahami realitas secara jelas dan terpilah (clara et distinct). Di sini akal tidak hanya mengungkapkan kebenaran, tetapi juga hakikat ada. Dengan begitu, akal juga sanggup membedakan kesalahan-kesalahan atau kesesatan-kesesatan.
Perenungan kelima
Kepastian pembuktian geometric sangat tergantung pada pengetahuan tentang Tuhan. Materi tidak mungkin tidak ada karena Allah yang Maha Baik tidak mungkin menipu.
Perenungan keenam
Ada suatu dunia. Manusia adalah makhluk bertubuh. Ini tidak bisa diragukan oleh makhluk berindra. Kebertubuhan (aksiden) berubah-ubah sehingga pengetahuan mengenai mereka dapat diragukan. Akal dan Tuhan adalah tetap (substansi yang tetap) sehingga kebenaran mengenai mereka bersifat kekal (finitum).[10]
E.     Perangkat – Perangkat Metodologi(Logika , induksi, Deduksi, Analogi, Komparasi)
Di atas adalah dua petunjuk berpikir yang diikuti dalam perenungan kefilsafatan.
Ada banyak perabot khusus yang memberikan bantuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan berpikir.
Logika (dibagi pada Logika Deduktif dan Logika Induktif)
1.      Logika Deduktif
Logika Deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.penarikan ksimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola piker yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini kemudian dapat dibedakan menjadi prenis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pegetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.[11]
Semua binatang mempunyai mata      (Premis mayor)
Sapi adalah seekor binatang                (Premis minor)
Jadi Sapi mempunyai mata                 (Kesimpulan)
2.      Logika Induktif
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yangb bersifat umum.
Kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, demikian juga dengan sapi, singa, dan bintang lainya. Dari kenyataan-kenyatan ini kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan yang bersifat umum ini mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis.kehidupan yang beranekaragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Keuntungan yang kedua adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun secara induktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.[12]
3.      Analogi Dan Komparasi
Dua bentuk penyimpulan yang sangat lazim dipakai dalam perenungan kefilsafatan adalah Analogi dan Komparasi. Penalaran secara analogi adalah berusaha mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa yang dicoba dibuktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun hal yang lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang mengawali penalaran tersebut.[13]
Penalaran secara komparasi adalah berusaha menyimpulkan dengan menggantikan apa yang dicoba dibuktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun yang lebih dikenal.
Dimisalkan kita ingin membuktikan adanya Tuhan berdasarkan susunan dunia tempat kita hidup. Dalam hal ini mengatakan sebagai berikut. Perhatikanlah sebuah jam. Seperti halnya dunia, jam tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat erat hubungnya satu sama lain. Kiranya tidak seorangpun beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dirinya sendiri atau terjadi secara kebetulan. Dengan demikian secara analogi adanya dunia juga menunjukan ada pembuatnya. Karena dunia kita sangat rumit susunannya dan bagian-bagianya berhubungan sangat erat satu sama lain dengan baik.[14]
F.     Penerapan Metode Kefilsafatan
Setelah melengkapi diri dengan beberapa pengertian dasar filsafat dan metodologi kefilsafatan, kapan kita mulai berfilsafat. Sekarang juga kita berfilsafat. Untuk mewujudkan hasrat ini, paling kurang ada 6 langkah yang harus diperhatikan.
1.      Menyadari adanya masalah. Realitas yang kita hadapi sangat beragam, terus mengalir dan berubah. Kaum dogmatis akan menerima dan menikmati realitas apa adanya. Seperti yang ditegaskan di awal, seorang filsuf tidak akan puas dengan realitas dan penjelasan-penjelasannya. Ketika dia tidak puas dengan realitas yang ada, sang filsuf sebenarnya memosisikan realitas sebagai sebuah masalah. Masalah inilah yang memicu pikirannya untuk mengajukan pertanyaan dan mendorong dia untuk mengungkapkan misteri yang menyertainya.
2.      Meragukan dan menguji secara rasional anggapan-anggapan. Sekali lagi, ketika kita menghadapi realitas, telah tersedia berbagai pandangan atau anggapan mengenai realitas itu. Misalnya, ketika melihat seseorang dengan pakaian lusuh berdiri di depan pintu pagar rumahmu, kamu mungkin langsung berpikir bahwa orang itu pasti pengemis. Seorang yang berpikiran kritis tidak akan langsung percaya dengan pandangan selama ini yang mengkarakterisasi pengemis secara tampilan luar. Dengan meragukan, seorang filsuf sebenarnya ingin menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam memberikan tanggapan atas realitas.
3.      Memeriksa penyelesaian-penyelesaian yang terdahulu.Bisa terjadi bahwa kita tidak menghadapi suatu realitas atau suatu masalah sebagai yang baru sama sekali. Mungkin orang lain pernah menghadapi hal yang sama. Karena itu, penting bagi si subjek yang berpikir untuk memeriksa bagaimana orang-orang sebelumnya menjelaskan persoalan itu. Di sinilah pentingnya berfilsafat dalam konteks sejarahnya.
4.      Menyarankan hipotesa. Setelah meragukan segala sesuatu dan menguji pandangan atau penyelesaian terdahulu mengenai suatu masalah atau realitas, seorang filsuf mengajukan hipotesa untuk menjelaskan realitas yang dia hadapi. Sekali lagi, hipotesa yang diajukan ini bersifat sangat sementara dan terbuka untuk kritik bahkan digugurkan dan diganti dengan hipotesa yang lebih cocok.
5.      Menguji konsekuensi-konsekuensi. Suatu hipotesa semakin diteguhkan ketika mampu bertahan dalam menjelaskan realitas. Kebertahanan sebuah hipotesa ditentukan oleh pengujian terhadap hipotesa tersebut, bagaimana dia mampu mengatasi berbagai kritik dan serangan dari hipotesa lain.
6.      Menarik kesimpulan. Nah, hipotesa yang diverifikasi dan bertahan akan menjadi kesimpulan. Kesimpulan inilah yang menjadi pandangan atau bagan konseptual si filsuf dalam menjelaskan sebuah realitas. Sekali lagi, kesimpulan ini pun, meskipun sudah tahan uji melalui pengujian hipotesa, tetap bersifat sementara dan terbuka kepada kritik dan pembaruan.[15]
Ketika kesimpulan mulai diragukan, seorang filsuf kembali menghadapi realitas sebagai masalah, lalu mempersoalkan, mengajukan hipotesa, merumuskan kesimpulan, dan seterusnya. Linkaran ini akan terus berlangsung tanpa akhir. Begitulah kita mulai berfilsafat.
          

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam konteks keilmuan metode berarti cara atau prosedur yang ditempuh dalam rangka mencapai kebenaran. Langkah –langkah dalam metode harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dihadapan akal budi, runtut, logis, rasional, dan konsisten. Metode dimaksudkan agar langkah – langkah pencarian kebenaran – kebenaran ilmiah dapat dilaksanakan secara tertib dan terarah, sehingga dapat dicapai hasil optimal.
Metode dapat dibedakan menjadi dua, yaitu metode umum dan metode khusus.
1.Metode Umum, terdiri dari metode deduktif-induktif dan metode analisis-sintesis.
2.Metode Khusus, terdiri dari metode operasional khas tiap –tiap ilmu atau kelompok ilmu.
            Metode atau cara kerja keilmuan menunjukkan bagaimana sebuah ilmu dioperasikan dalam cara tertentu dan khas dalam memecahkan suatu persoalan alam.
Analisanya meliputi ekstensi dan intense, makna yang terkandung oleh suatupernyataan, makna tidak identik dengan kebenaran, filsafat kritis(critical philosophy 
Perangkat – perangkat metodologi :
·         Deduktif
·         Induktif
·         Analogi dan Komparasi
Untuk mewujudkan hasrat mulai berfilsafat menggunakan cara-cara yang terperinci diatas.


DAFTAR PUSTAKA

Kattsof ,Louis O. alih bahasa: Soejono Soemargono. 2004.Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Tiara Wacana.

S.Suriasumantri ,Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bekker, Dr.Anton.1986.Metode-Metode Filsafat.Jakarta: Ghalia Indonesia.


http://kapansaja-kapan.blogspot.com/2011/05/metode-kefilsafatan.html




[1]Bekker, Dr.Anton.Metode-Metode Filsafat.(Jakarta: Ghalia Indonesia,1986). Hlm.10
[2] Louis O. Kattsof alih bahasa: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 17-18.
[3] Ibid, hlm.18
[6]Louis O. Kattsof alih bahasa: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm.20
[7] Ibid, hlm.20
[9] Louis O. Kattsof alih bahasa: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm.20
[10] Ibid, hlm.23-27
[11] Jujun, S.Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2005). Hlm.48-49
[12] Ibid. Hlm.46-48
[13] Louis O. Kattsof alih bahasa: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 32.
[14] Ibid, Hlm.32
[15] Ibid, Hlm.34-38
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar