aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Cari Blog Ini

Pages

guru, profesionalisme, pendidikan, akhlakul karimah



Abstrak
            Salah satu komponen yang sangat menentukan di dalam proses peningkatan kecerdasan suatu bangsa ialah: GURU. Guru di dalam sejarah perkembangan bangsa serta perjuangan revolusi Indonesia telah memegang peran yang sangat penting. Keprofesionalitas seorang guru semakin hari semakin mengalami kemerosotan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya.
            Sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan di Indonesia, guru diharapkan dapat memenuhi kriteria profesionalitas sebagai seorang guru. Di dalam Al-qur’an pun telah banyak disebutkan tentang keprofesionalisme seorang guru.
            Makalah ini membahas bagaimana kualitas guru di era globalisasi ini dengan tingkat profesionalitas seorang guru menurut Al-Qur’an yang nantinya merujuk pada pendidikan yang berlandaskan Akhlakul karimah

Kata kunci: guru, profesionalisme, pendidikan, akhlakul karimah


BAB I
PEMBAHASAN

Kemajuan suatu bangsa diukur dari seberapa maju pendidikan yang telah dicapai. Seperti yang dikatakan oleh Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2004-2009, yang dikutip oleh Moh. Yamin dalam bukunya, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan.[1] Oleh karena itu, pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan memiliki peranan strategis. Pendidikan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu dengan indokator kualifikasi ahli, terampil, kreatif, inovatif, serta memiliki sikap dan perilaku yang porsitif.
Di era globalisasi ini kehadiran seorang pendidik yang professional merupakan suatu keniscayaan. Terlebih semakin merosotnya kualitas pendidikan kita, disbanding dengan Negara-negara tetangga. Sebagai pendidik yang professional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya professional, tetapi juga harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang professional.
Menurut Mukodi dalam bukunya, profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan dilakukan oleh orang yang professional. Orang yang professional merupakan orang yang memiliki profesi. [2]
Sementara itu istilah professional dalam Undang-undang No. 14 2005 tentang Guru dan Dosen melekat pada profesi itu sendiri. “Professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
A.          Kualitas Guru
Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.

Tidak dipungkiri, bahwa pendidik (guru) merupakan bapak rohani (spiritual father) bagi anak didik. Ia pula yang memberikan santapan jiwa kepada peserta didik dengan ilmu, pembinaan akhlakul karimah dan meluruskannya. Pendidik mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dibandingkan dengan manusia yang lainnya. Hal ini dituliskan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW bahwa: “tinta seorang ilmuan (ulama) lebih berharga ketimbang dari dasar syuhada”.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini, dari 2,92 juta guru, baru sekitar 51 persen yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.[3] Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.[4]
Sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2010 dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8 % yang berpendidikan diploma DII kependidikan ke atas, sekitar 680.000 guru SMP/MTs baru 38,8 % yang berpendidikan DIII kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah dari 337.503 guru baru 57,8 % yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi dari 181.544 dosen, baru 18,86 % yang berpendidikan S2 ke atas dan hanya 3,48 % berpendidikan S3. Menurut data Indonesia Berkibar sekitar 54 % guru di Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang cukup.[5]
Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.[6]
Pada era teknologi informasi, guru memang tidak lagi dapat berperan sebagai satu-satunya sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Peran guru telah berubah lebih menjadi fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi peserta didik. Dalam era teknologi informasi peserta didik dengan mudah dapat mengakses informasi apa saja yang tersedia melalui internet. Dalam kondisi seperti itu, maka guru diharapkan dapat memberikan peran yang lebih besar untuk memberikan rambu-rambu etika dan moral dalam memilih informasi yang diperlukan. Dengan kata lain, peran pendidik tidak dapat digantikan oleh apa dan siapa, serta dalam era apa saja. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut secara efektif dalam proses pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan harus ditingkatkan mutunya dengan skenario yang jelas.
B.           Profesionalitas Pendidik Islam
Mukodi juga menyatakan dalam bukunya, bahwa seorang pendidik Islam harus professional, karena dalam Islam setiaqp pekerjaan harus dilakukan secara professional, dalam arti harus dilakukan secara benar, hal itu hanya mungkin dilakukan oleh seorang ahli. Nabi Muhammad SAW bersabda; “bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran.” [7]
 Dengan demikian, jelaslah pandangan Islam tentang profesi. Islam tidak hanya mementingkan profesionalisme, tetapi juga memikirkan bagaimana menerapkan profesionalisme ini dalam masyarakat Islam, khususnya dal;am bidang pengelolaan sekolah.
Ada beberapa pokok pikiran tentang penerapan profesionalisme di dalam pendidikan Islam menurut Ahmad Tohir sebagai berikut:
1.      Profesionalisme tingkat yayasan. Disini pengurus yayasan harus memiliki sikap atau rasa pengabdian kepada masyarakat.
2.      Profesionalisme pada tingkat pimpinan sekolah. Pengurus yayasan harus benar0benar memilih kepala sekolah yang benar-benar professional.
3.      Profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar. Ini harus dimulai dengan penerimaan tenaga guru.
4.      Profesionalisai tenaga tata usaha sekolah. Di sini, profesionalitas pegawai/staf sangat menentukan kinerja lembaga pendidikan Islam ke depan.
C.          Guru Profesional Menurut Al-Qur’an
                Guru memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran di kelas. Karenanya, ia dituntut untuk memiliki kompetensi sebagai pendidik yang profesional. Kompetensi guru ini sangatlah penting, bahkan al-Qur’an juga menyinggung hal tersebut. Lantas, bagaimana al-Qur’an memandang kompetensi guru ini.
Berdasarkan kajian/penelitian, diperoleh temuan bahwa:
(1) Konsep al-Qur’an Surat al-Qalam Ayat 1–4 tentang kompetensi guru adalah sebagai berikut:
(a) kata wal qalam wa ma yasthurun, mengindikasikan bahwa guru harus akrab dengan pena dan tulisan. Sebab dengan kedua alat ini pengetahuannya akan terus bertambah sehingga membantunya dalam memberikan wawasan terhadap murid-muridnya;
 (b) kata ma anta bi ni’mati rabbika bi majnun, mengindikasikan bahwa seorang guru harus memiliki mental yang kuat dan tidak mudah menyerah, sehingga sukses dalam menghadapi cobaan selama mengajar;
(c) kata wa inna laka la’ajran ghaira mamnun, bahwa guru harus memiliki niat ikhlas dalam mengajar agar bernilai ibadah yang mengandung pahala;
(d) kata wa innaka la’ala khuluqin ‘adhim, ini merupakan puncak kompetensi yang harus dimiliki guru. Bahwa guru harus memiliki kompetensi kepribadian yang integral sehingga bisa menjadi teladan bagi anak didiknya.
(2) Bahwa setelah diadakan komparasi antara konsep kompetensi guru menurut al-Qur’an dengan Permendiknas diketahui bahwa secara garis besar keduanya mempunyai kesesuain atau kesamaan dalam memandang kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Hanya saja kemasannya yang berbeda, sehingga dalam surat al-Qur’an yang dibuat obyek penelitian adalah kompetensi kepribadian yang disebutkan pertama kali, sebagaimana kompetensi ini menjadi persyaratan utama yang disebutkan oleh para pakar pendidikan Islam. Kemudian kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.[8]
D.          Dasar-dasar Pendidik dalam Al-Qur-an
          Pada hakikatnya yang menjadi pendidik paling utama adalah Allah SWT. Sebagai guru Allah telah memberi segala gambaran yang baik dan yang buruk sebagai sarana ikhtiar umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut Allah mengutus nabi-nabi yang patuh dan tunduk kepada kehendak-Nya untuk menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia. Apabila melihat petunjuk yang ada di dalam Al-Qur-an, maka pendidik bisa diklasifikasikan menjadi empat:
1.        Allah SWT.
Allah sebagai pendidik utama yang menyampaikan kepada para Nabi berupa berita gembira untuk disosialisasikan kepada umat manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وعلّم ادم الاسماء كلها ثم عرضهم على الملئكة فقال انبؤني باسماء هؤلاء ان كنتم صديقين.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar-benar orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah/2: 31)
Ayat di atas dengan jelas bahwa Allah mengajar nabi Adam, kemudian di ayat lain Allah mendidik manusia dengan perantaraan tulis baca
علّم الانسان مالم يعلم
“Dia megajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuina. (Q.S. al-‘Alaq/ 96: 5).
Allah mendidik manusia sesuatu yang tidak manusia ketahui. Pendidikan Allah menyangkut segala kebutuhan alam semesta ini. Allah sebagai pendidik alam semesta dengan penuh kasih sayang sebagimana firman-Nya dalam surat al-Fatihah; (…رب العالمين. الرحمن الرحيم) Allah sebagai pendidik telah mengajar nabi Muhammad berupa turunnya ayat-ayat Al-Qur-an untuk di sampaikan kepada umatnya. Seperti Allah mengajari/ menganjurkan nabi berdakwah (Q.S. Al-Muddatstsir/ 74) serta ayat-ayat lain yang pada intinya sebagai imtitsal yang disampaikan pada Nabi untuk disebarkan pada umatnya.
2.        Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW. Sebagai penerima wahyu Al-Qur-an yang diajari segala aspek kehidupan oleh Allah SWT (melalui malaikat jibril) untuk disosialisasikan kepada umat manusia. Hal ini pada intinya menegaskan bahwa kedudukan Nabi sebagai pendidik atau guru yang langsung ditunjuk oleh Allah SWT., dimana tingkah lakunya sebagai suriteladan bagi umatnya. Allah berfirman;
 لقدكان لكم في رسول لله اسوة حسنة لمن كان يرجواالله واليوم الاخروذكراالله كثيرا.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-Ahzab/33: 15).
Dengan demikian segala tingkah laku Rasulullah senantiasa terpelihara dan dikontrol oleh Allah SWT. segala anjuran dan laranganya benar-benar wahyu dari Allah sebagaimana dalam firman-Nya:
وماينطق عن الهوى. ان هو الاوحي يوحى.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm/ 53: 3-4).
Segala perbuatan Nabi yang dilakukan secara wajar merupakan suri teladan bagi umat manusia. Nabi yang secara langsung dibimbing oleh Tuhan menjadikan aktifitas Nabi sebagai sesuatu yang terbaik untuk diaplikasikan oleh umat manusia. Nabi sebagai Pendidik yang “sempurna” menjadi keniscayaan bagi manusia untuk menteladaninya.
3.        Orang tua
Dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan kedudukan orang tua sebagai pendidik anak-anaknya, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Luqman:
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يبني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.
Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat yag harus dimiliki orang tua sebagai guru yaitu pertama dan utama adalah ketuhanan dan pengenalan Tuhan yang pada akhirnya akan memiliki hikmah atau kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio. dapat bersukur kepada Allah, suka menasihati anaknya agar tidak mensekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar melaksanakan salat, sabar dalam menghadapi penderitaan.
Kedudukan orang tua sangat penting dalam membina dan mendidik anak-anaknya, karena orang tua yang paling bertanggung jawab terhadap anak keturunannya. Apakah anak-anaknya mau dijadikan orang yang baik atau sebaliknya? Nabi bersabda;
عن أبي هريرة ….كل مولود يولج على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه. (رواه البخاري و مسلم وأحمد)
“Tiap-tiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, Majusi.
Orang tua disamping memiliki kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya juga berkewajiban untuk membina dan mendidiknya. Dua kewajiban ini tidak bisa dipisahkan, karena menjadi tanggungan orang tua kepada anaknya. Dalam realitanya kebanyakan orang tua tidak kuasa secara langsung untuk mendidik anak-anaknya. Hal ini karena beberapa aspek yang tidak mungkin untuk dilaksanaknnya, baik karena aspek kesempatan, kemampuan dan kendala-kendala lainnya.[9]
E.           Landasan Pendidikan Berbasis Moral (Akhlak Al-Karimah).
Jika dilihat secara seksama potret dan wajah pendidikan nasional di Indonesia, kurang lebih seperti kaca yang banyak debunya. Dengan kata lain, wajahnya suram, khususnya dalam hal profil dan performan para pelajar dan mahasiswa yang di antara mereka banyak yang tidak lagi mengindahkan ajaran agama, tata susila, dan kesopanan. Hal ini bisa dilihat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat dalam tindak penyelewengan sosial dan pelecehan seksual, seperti ketergantungan pada narkoba, pencurian, pemerkosaan, pergaulan bebas, free sex, dan lain-lain. Kenyataan pahit tersebut tentu menjadi tanggung jawab berat dunia pendidikan, baik pendidikan dalam konteks formal, nonformal maupun informal. Persoalan ini menjadi tamparan tersendiri bagi dunia pendidikan nasional di Indonesia.[10]
Sebuah lembaga perantara pendidikan hendaknya lebih mengedepankan (berlandaskan) pembenahan akhlak/ perilaku . Salah satunya yaitu dengan lebih menekankan Pendidikan Berbasis Moral (Akhlak Al-Karimah). Dalam implementasinya, konsep pendidikan berbasis moral dapat dilakukan oleh semua institusi pendidikan mulai dari sekolah, keluarga sampai masyarakat dengan model atau pendekatan yang beraneka ragam, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan generasi penerus bangsa yang bermoral (berakhlak mulia). Sebab tanpa adanya modal utama “moralitas” ke depan bangsa Indonesia akan terus terpuruk.
Hal tersebut sangat logis dan merupakan tanggung jawab berat semua institusi pendidikan, sebab kegelapan nurani masyarakat Indonesia dewasa ini sudah melanda berbagai sektor kehidupan, mulai sektor pemerintahan yang di dalamnya banyak terjadi korupsi, sektor ekspor-impor yang di dalamnya terdapat cara-cara ilegal, bahkan sampai sektor pendidikan. Konon sektor pendidikan diharapkan mampu mengantarkan manusia lebih dewasa dan beradab, dan masyarakat terdidik tersebut diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat lainnya, akan tetapi penyelewengan-penyelewengan ternyata juga banyak dilakukan oleh masyarakat terdidik seperti pelajar, mahasiswa, bahkan guru dan dosen. Hal ini tentu sangat memprihatinkan[11]
Pendidikan akhlak (moral ) menurut al-Qur’an adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar guna memberikan pendidikan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam yang berupa penanaman akhlak mulia yang merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga menghasilkan perubahan yang direalisasikan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Kenyataan hidup yang meliputi : tingkah laku yang baik, cara berfikir yang baik dan bersikap baik yang dapat menjadikan manusia sempurna.
Akhlak yang mulia akan mampu mengantarkan seseorang kepada martabat yang tinggi. Perbuatan mulia yang keluar dari kekuatan jiwa tanpa keterpaksaan adalah akhlak yang baik (akhlakul mahmudah). Kebaikan yang tersembunyi dalam jiwa atau dididik dengan pendidikan yang buruk sehingga kejelekan jadi kegemarannya, kebaikan menjadi kebenciannya dan perkataan serta perbuatan tercela mengalir tanpa rasa terpaksa. Maka yang demikian disebut akhlak yang buruk (akhlakul madzmumah).
Al-qur’an menjadi penyeru kepada pendidikan akhlak yang baik, mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum muslimin, menumbuhkannya dalam jiwa mereka dan yang menilai keimanan seseorang dengan kemuliaan akhlaknya. Adapun tujuan pendidikan akhlak menurut al-Qur’an adalah terwujudnya manusia yang memiliki pemahaman terhadap pendidikan akhlak baik dan buruk yang tercermin dalam prilaku negatif, efektif dan psikomotorik secara terpadu sehingga terwujud manusia yang memiliki kesempurnaan akhlak sebagaimana yang digambarkan oleh Allah menurut al-Qur’an dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga terwujudlah keselamatan di dunia dan akherat. Pendidikan akhlak menurut al-Qur’an meliputi akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya, akhlak terhadap manusia, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga, akhlak terhadap masyarakat dan akhlak terhadap alam sekitar kita..[12]
Kalau kita bercermin pada realitas pendidikan di Indonesia dalam proses penilaian anak didik didik masih banyak yang berkutat pada penilaian aspek kognitif saja, belum secara konkrit melibatkan aspek afektif dan psikomotorik sehingga dalam realitasnya, banyak pelajar dan mahasiswa dinilai dari aspek kognitif berhasil, akan tetapi dari aspek afektif dan psikomotorik belum menunjukkan keberhasilan belajarnya. Padahal yang dinamakan belajar yang sesungguhnya adalah adanya perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Dengan modal pendidikan berbasis moral diharapkan anak didik ke depan memiliki keunggulan komparatif dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dan dijiwai oleh kepribadian yang luhur. Sebagai suatu ilustrasi betapa penting karakter seseorang yang dilandasi dengan moralitas (akhlak mulia) daripada hanya sekedar pintar tapi tidak terpuji seperti halnya orang berenang.
Seseorang akan menilai orang lain pandai berenang apabila ia mempunyai pengalaman berenang dan bisa mempraktekkannya. Artinya ketika ia dimasukkan ke dalam kolam renang, ia bisa berenang dan tidak tenggelam, bukan dinilai pintarnya dia mengusai teori-teori berenang, akan tetapi ketika dimasukkan ke dalam kolam renang ia tenggelam dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Demikian pula seseorang akan lebih menghargai orang lain dalam hal sikap dan perilakunya yang terpuji walaupun tidak terlalu pintar daripada orang pintar akan tetapi sikap dan perilakunya tidak benar. Ini menunjukkan betapa penting sikap dan perlaku terpuji di hadapan manusia, terelebih di hadapan Tuhan.
Dengan demikian, diharapkan kelak menjadi manusia yang mulia, baik di hadapan Tuhan maupun manusia. Oleh karenanya, dalam proses penilaian terhadap anak didik dalam pendidikan tidak bisa hanya menitikberatkan pada potensi intelektualnya saja, akan tetapi juga harus menitikberatkan pada moralitasnya (akhlak). [13]

PENUTUP
   Kemajuan mutu pendidikan suatu Negara di tentukan oleh kualitas tenaga pendidiknya (guru). Seorang guru haruslah professional dalam artian memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidangnya yaitu mengajar. Disamping itu, seorang guru harus memiliki niat ikhlas dalam mengajar agar bernilai ibadah yang mengandung pahala
Profesionalitas pendidik Islam pun sangat mempengaruhi demi terciptanya pendidikan yang bewrlandaskan akhlakul karimah. Seperti yang disebutkan dalam makalah diatas bahwa sebuah lembaga pendidikan hendaknya lebih mengedepankan (berlandaskan) pembenahan akhlak/ perilaku . Salah satunya yaitu dengan lebih menekankan Pendidikan Berbasis Moral (Akhlak Al-Karimah).
Selain itu, Al-qur’an menjadi penyeru kepada pendidikan akhlak yang baik, mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum muslimin, menumbuhkannya dalam jiwa mereka dan yang menilai keimanan seseorang dengan kemuliaan akhlaknya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Yamin, Moh.  2009.  “Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan”, Yogyakarta: Diva Press.
Hasbullah 2006. “OTONOMI PENDIDIKAN:Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mukodi, “Pendidikan Islam Terpadu:Reformulasi Pendidikan di Era Global”, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011. Hlm.20.


Internet:
Dwi Wedhaswary, Inggried. Kompas.com. “Kualitas Guru Masih Rendah”.  7 Maret 2013.
Joewono, Benny N, Kompas.com, “Kurikulum 2013 Belum Tentu Tingkatkan Kualitas”. 7 Maret 2013
http://jareperpus.blogspot.com 15 Maret 2013
http://abraham4544.wordpress.com/umum/problematika-pendidikan-di-indonesia.23 Maret 2013
http://van88.wordpress.com/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia/21 Maret 2013
Blog.umy.ac.id. 23 Maret 2013



[1] Yamin, Moh,  “Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan”, (Yogyakarta: Diva Press, 2009), hlm 66
[2]  Mukodi, “Pendidikan Islam Terpadu:Reformulasi Pendidikan di Era Global”, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011. Hlm.20.
[3]Dwi Wedhaswary, Inggried. Kompas.com. “Kualitas Guru Masih Rendah”.  7 Maret 2013.
[4]blog.umy.ac.id. 23 Maret 2013

[5] Taktiktek.com. 7 Maret 2013
[6]blog.umy.ac.id. 23 Maret 2013
[7] Mukodi, “Pendidikan Islam Terpadu:Reformulasi Pendidikan di Era Global”, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011. Hlm.22.

[8]http://perpus.stainpamekasan.ac.id
[9]http://hefniy.wordpress.com/
[10]M_Turhan_Yani.pdf.  hal 2 . 19 Maret 2013

[11]M_Turhan_Yani.pdf.  hal 4 . 19 Maret 2013


[12]http://jareperpus.blogspot.com 15 Maret 2013
[13]M_Turhan_Yani.pdf.  hal 7 . 19 Maret 2013

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar