BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebelum
kita masuk kedalam pembahasan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya yang
dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan kata-kata
atau bahkan dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan syari’at
sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam liberal.
Banyak kita temukan orang-orang dalam
memutuskan suatu perkara berdasarkan maslahat semata, dalam ushul fiqih ini
dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik perkara individu, jamaah
maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada maslahatnya, serta salah
jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at. Padahal para Imam
Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah bukanlah dalil.Akibatnya
terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan dan yang haram
dihalalkan.
Bagi kaum muslimin, semua tentang dien harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang
shohih menurut pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya. Dien
menurut pandangan Islam adalah apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam
kitabnya yang bijaksana dan Sunnah Nabi-Nya yang shohih, baik berupa perintah,
larangan, maupun petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dari
Anas r.a., ia telah berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila ada
sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahui. Dan apabila ada urusan
agamamu, maka kembalikan padaku.” (H.R. Ahmad). Hadits ini mununjukkan bahwa
apapun urusan agama mutlak harus mengacu pada Nabi, sementara urusan dunia
bebas terserah kita selama tidak diatur oleh agama dan tidak bertentangan
dengan Al Quran dan Sunnah.
Pada
dasarnya urusan duniawi boleh dan tidak terlarang kecuali ada keterangan yang
melarang, mengharamkan, dan bukan mencari dalil yang menghalalkan. Perbuatan
yang ditinggalkan Rasullullah SAW ada dua bagian, yaitu: (1) Ada yang menjadi
Bid’ah; (2) Ada yang menjadi Maslahat Mursalah.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang kami bahas dalam makalah ini terkait
dengan beberapa permasalahan Mashalihul
Mursalah, yaitu:
1.
Apa pengertian mashalihul mursalah?
2.
Bagaimanakah tinjauan maslahat mursalah?
3.
Apa saja dalil-dalil dan landasan pokok dalam mengamalkan
mashalihul mursalah?
4.
Bagaimana pendapat ulama mazhab seputar mashalihul mursalah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Memahami pengertian mashalihul mursalah.
2.
Mengetahui berbagai tinjauan maslahat mursalah.
3.
Memahami dalil-dalil dan landasn pokok dalam mengamalkan mashalihul
mursalah dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Memahami maksud dari pendapat para ulama madzhab mengenai mashalihul mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mashalihul
mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat
dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي)
dan menjauhkan madharat (سلبي). Sedangkan mursalah artiya lepas.
Sedangkan
secara terminologi terkandung dalam beberapa pendapat para ulama :
1. Imam ‘Izudin bin Abdus Salam:
(Maslahat memiliki dua bentuk; pertama tinjauan hakiki yaitu membuat tentram
dan nyaman, kedua majazi yaitu sebab-sebabnya. Ini dapat kita katakan bahwa
terwujudnya maslahat itu disebabkan karena adanya mafsadat. Sebagai contoh,
memotong tangan pencuri hakekatnya adalah menghilangkan cara dan perbuatannya.
Merajam orang yang berjina serta menjilidnya merupakan pengasingan (تغريب)
atas perbuatan mereka. Jadi intinya, semua hukuman dalam syari’at jangan
dipahami sebagai mafsadat, bahkan hal itu merupakan maksud dari syari’at
(memberikan kemaslahatan bagi manusia).
2. Syaikh Thohir bin ‘Asur
salah satu ulama kontemporer: (bahwa maslahat disandarkan pada pekerjaan yang
memberikan manfaat selamanya bagi semua manusia atau dirinya sendiri)
3. Ibnu Taimiyah: (maslahat dalam pandangan
mujtahid adalah perbuatan yang mendatangkan manfaat yang benar dan bukan
bersumber dari syari’at yang tidak bermanfaat) serta
Al-Khawarijmi memberikan pandangannya seputar maslahat ini yaitu menjaga maksud
dari hukum dengan menafikan segala bentuk mafsadat dari penciptaan
4. Ar-Raisuni mengatakan hakekat
maslahat adalah setiap ketentraman dan kesenangan jasmani, jiwa, akal dan
rohani,. Sedangkan hakekat mafsadat adalah setiap hal yang merusak jasmani,
jiwa, akal dan rohani. Ar-Roji mengatakan bahwa tidak
ada interpretasi lain untuk masalahat kecuali ketentraman (al-ladāh)
karena hal itu merupakan akses terhadapnya (baca:maslahat). Serta tidak ada
pengertian lain untuk mafsadat kecuali kerusakan sebagai bagian darinya.[1][1].
5. Abdul Wahhab Khallaf, mashalihul mursalah
adalah sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum yang
merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung ataupun
menolaknya.[2][2].
Dari paparan pengertian diatas, baik dari
tinjauan etimologi maupun terminologi kita bisa menarik konklusi bahwa yang
disebut dengan maslahat adalah suatu perbuatan hukum yang mengandung manfaat
dan ketentraman bagi semua manusia atau dirinya sendiri terhadap jasmani, jiwa,
akal serta rohani dengan tujuan untuk menjaga maqhasid asy-syari’ah.
B. Tinjauan
Mashlahat Mursalah
Dari
pengertian yang diberikan oleh para ulama’ ada dua versi
pengertian untuk maslahat mursalah, yaitu sebagai berikut:
pengertian untuk maslahat mursalah, yaitu sebagai berikut:
1. Kemashlahatan itu tidak ada dalilnya
dari syariat yang khusus mengenai persoalan tersebut yang menetapkan atau
menolaknya.
2. Kemashlahatan itu termasuk dalam
keumuman dalil-dalil syar’i yang menetapkannya atau menolaknya, meskipun tidak
ada dalil khusus yang berkaitan dengan masalah tersebut.[3][3].
Pada
pengertian yang pertama di atas jelas jika yang dimaksud dengan maslahat
mursalah itu seperti pengertian tersebut maka hal itu adalah bertentangan
dengan kesempurnaan Islam. Allah berfirman:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku………….…” (Al-Maidah: 3)
Oleh
karena itu Allah tidak membiarkan kita begitu saja untuk menganggap
maslahat dan menganggap baik sesuai dengan hawa nafsu kita dalam masalah syar’I
dan agama. Allah berfirman:
“
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban).” (Al-Qiyamah:
36)
Oleh
karena Itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitab
Ash-Shorimul Maslul:Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar menggunakan
istihsan atau istishlah, karena hal tersebut merupakan bentuk pembuatan
syari’at berdasarkan akal.
Dan banyak orang mengira bahwa sesuatu itu
bermanfaat bagi agama dan dunia
padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlarat, sebagaimana yang Allah
katakan tentang khamar dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa
keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlarat, sebagaimana yang Allah
katakan tentang khamar dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa
keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
Imam Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: ”Oleh
karena itu para penganut madzhab menetapkan maslahat mursalah itu bukanlah
hujjah dalam agama Allah. ” (Lihat Mudzakirotul Ushul karangan Asy-Syinqithi
hal. 170)
Adapun
para ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah dibawa kepada
pengertian maslahah mursalah yang kedua.
pengertian maslahah mursalah yang kedua.
Oleh karena itu Abu Hasan Al-Amidi
dalam kitab Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam
IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap
syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan
oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau
mengatakan: “Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya telah
sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut
dan inilah pendapat yang benar, namun sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut, namun para sahabatnya
mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika
periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak
berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku untuk kemaslahatan yang Dlaruriyyah, Kulliyyah dan Qath’iyyah,
bukan pada kemaslahatan yang tidak Dlaruri, Kulli dan Qath’i. Hal itu
sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok
kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka
pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika kita memerangi mereka, akan
teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qath’i meskipun
dalam hal ini harus membunuh orang yang tidak berdosa.Pembunuhan seperti ini meskipun dibenarkan namun tidak ada nas yang mengiyakannya atau melarangnya.
IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap
syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan
oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau
mengatakan: “Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya telah
sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut
dan inilah pendapat yang benar, namun sebuah riwayat menyebutkan bahwa
Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut, namun para sahabatnya
mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika
periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak
berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku untuk kemaslahatan yang Dlaruriyyah, Kulliyyah dan Qath’iyyah,
bukan pada kemaslahatan yang tidak Dlaruri, Kulli dan Qath’i. Hal itu
sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok
kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka
pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan
kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika kita memerangi mereka, akan
teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qath’i meskipun
dalam hal ini harus membunuh orang yang tidak berdosa.Pembunuhan seperti ini meskipun dibenarkan namun tidak ada nas yang mengiyakannya atau melarangnya.
Jika
hal ini dapat dipahami maka sebenarnya kemaslahatan itu hanya
berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang ditentang oleh syar’i.
berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang ditentang oleh syar’i.
Ulama
Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengakuinya dengan menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Ada kesesuaian antara kemaslahatan yang dianggap sebagai
dasar
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia
tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qath’i.
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia
tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil qath’i.
2.
Kemaslahatan itu
sendiri rasional, sejalan dengan sifat-sifat yang pantas dan masuk akal.
3.
Pelaksanaan kemaslahatan itu benar-benar dapat menghilangkan
kesulitan.
Penggunaan
maslahat tanpa persyaratan tertentu dikhawatirkan akan mengikuti hawa nafsu
belaka, oleh karena itu di perlukan syarat-syarat tertentu agar penggunaan
maslahat tetap dalam nilai-nilai syariah.[4][4]
Ulama
Mazhab Hanafiyah dan asy syafi’iyah tidak melihat sebagai
dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;
Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280).
dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;
Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280).
Diantara
syarat yang lain adalah dalam kitab Irsyadul Fuhul hal. 242 dikatakan ”Jika
kemaslahatan tersebut Dlarudiyyah, Qath’iyyah dan Kulliyyah maka kemaslahatan
tersebut diakui namun jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi
maka kemasslahatan tersebut tidak bisa diterima. Dharuriyyah adalah
hendaknya kemaslahatan yang hendak dicapai itu termasuk dari bagian
dharuriyyatul khamsah. Qath’iyyah adalah kepastian manfaat yang akan
ada. Dan yang dimaksud dengan Kulliyyah adalah berlaku untuk seluruh
kaum muslimin dan tidak hanya berlaku unuk sebagian kaum muslimin atau suatu
keadaan tertentu saja.
Inilah yang dipilih oleh Imam Al-Ghazali
rahimahullah dan Imam Al-Baidhawi rahimahullah, dan Imam Al-Ghazali
rahimahullah memberikan permisalan dengan masalah tatarrus ( Ketika non muslim
menawan muslim sebagai perisai untuk menghindari serangan).”
Dengan
demikian maka pada pengertian yang kedua ini tepatlah jika Imam Al-Qarrafi mengatakan:”Setelah
diteliti sebenarnya maslahat mursalah itu digunakan oleh seluruh madzhab.”
C. Pembagian
Maslahat
1. Mashalih
al-mu’tabiroh
yaitu maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti
maslahat pada hukum qishash. Pada
pointer ini syari’at menjelaskan secara langsung (tekstual) melalui nash atau
ijmā’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmā’ diantaranya
-seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas. Elemen yang membentuk maslahat pada
marhalah ini seperti menjaga agama (khifdzu al-din) yaitu perintah untuk jihad
dan memerangi orang-orang yang murtad, menjaga jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu
dengan memberikan hukuman qishas terhadap orang yang melakukan pembunuhan
dengan sengaja, menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu menerapkan sanksi atas
orang yang minum khamar, menjaga keturunan (khifdzu an-nasl/al-‘irdh) yaitu
menghukum pelaku yang berbuat zina dan menjaga harta (khifdzu al-mal) yaitu
mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi orang yang melakukan hal itu.
Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau sifatnya
dhoruriyah.
2. Mashalihul
mulghōh yaitu
maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau dengan kata lain bahwa
maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari oleh syariah,
seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina bisa disebut maslahah
tetapi ia dibatalkan oleh syariah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga
maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
3. Mashalihul
mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. yaitu maslahat yang keberadaanya secara langsung tidak
ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas
membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan
yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak
menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah
dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan
Al-Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman. Sahabat
mendirikan penjara, mencetak mata uang, atau menetapkan tanah pertanian yang
menjadi milik bagi orang yang membuka lahan tersebut.[5][5].
Di
antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang
disepakati ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu
hukum.
Sedangkan
dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan. Golongan
pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil
(argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah
boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa
maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat
bahwa suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah
(pasti) dan kulliyah (menyeluruh).
Contoh
dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu kasus
di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan
tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup.
Dalam kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai
hidup disebut maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang
disyaratkan di atas.
Kriteria
dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan orang kafir
terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama dan
umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan
bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah
pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang
terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak
dibunuh, maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang
kafir itu akan membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat
itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada
lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak.
Kelima syarat tersebut ialah:
- Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
- Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
- Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
- Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
- Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.[6][6].
1. Naqli :
a.
Al-Qu’ran
Sebagaimana
firman Allah SWT {فاعتبروا يا أولي الأبصارل}surat Al-Hasyr ayat 2. Allah memerintahkan
kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam
Al-Qur’an untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini
mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati (mujawaz)teks
sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran Islam itu
sendiri.
b.
Sunnah
Rosullullah
memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam tataran
makna nash Al-Qur’an yang global tatkala nash khusus tidak menyentuh wilayah
tersebut. bagi Rasulullah menetapkan metodologi ini kepada umat setelahnya dan
memberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan ijtihad selama masih dalam
koridor yang sesuai. Contoh yang paling populer adalah (Ketika Rasulullah
mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dia bertanya (menguji) kepadanya “apa yang
akan engkau perbuat jika menemukan suatu permasalahan?” Muadz menjawab “aku
akan menetapkannya dengan hukum Allah” jika engkau tidak mendapatkannya?
“dengan sunnah rosul” dan apabila tidak ditemukan juga. “aku akan berijtihad
dengan pendapatku (ra’yu). Kemudian rosulullah menepuk dada Mua’dz dan berkata
“Maha suci Allah yang telah memberikan taufiq kepadamu, dan rosul merestuinya).
c.
Perbuatan Sahabat
1.
Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut.
2.
Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali
cambukan (jaldah3. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para
pekerja/pengrajin (shanā’a).
4.
Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika mereka
bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.
2. Aqli
Sebagaimana
telah kita ketahui bersama bahwa konstitusi Islam telah mencapai titik final.
Sedangkan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang
berbeda, dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari
syariat karena aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu
sebagaimana tertuang dalam firman Allah {وما
أرسلناك إلاّ كافة للنّاس بشيرا ونذيرا} surat Saba` ayat 28. Kalau kenyataannya demikian, maka harus
ada metode untuk istinbat hukum melalui ruh nash-nash dan kaidah-kaidah umum
dalam merespon setiap kejadian baru disebabkan kontinuitas waktu dan perubahan
tempat. Dan mashalihul mursalah merupakan refresentasi dari metodologi yang
dibutuhkan ketika menentukan hukum.
Sejalan
dengan ini Syaikh Az-Zanjānī mengutip perkataan Iman Syāfi’i “hal tersebut
(mashalihul mursalah) dibutuhkan untuk menetapkan aturan atas kejadian yang
khusus dengan mengambil makna dan kebenaran dari aspek finalitas syari’at
tersebut. Dan sesuatu yang final tidak bisa bergeser oleh yang bukan final.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut
sebahagian ulama terbagi menjadi beberapa bagian.
Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa sedikitnya ada 3 syarat mashalihul mursalah
itu bisa direalisasikan, yaitu:
1.
Sifatnya dharuriyah.
2.
Universal/Syumuli. Harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh
hanya untuk kepentingan sebahagian orang.
3.
Ada dalil qoth’i atau mendekati dalil qoth’i tersebut (dzani). Imam Ghazali
tidak menjadikan syarat ini untuk mashalihul mursalah pada umumnya kecuali dia
hanya menempatkan syarat ini pada contoh kasus yang khusus. Seperti
diperbolehkannya orang muslim untuk meminta bantuan kepada orang kafir dalam
peperangan selama hal itu bisa mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam.
Imam
Syatibi
memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali, diantaranya:
1.
Rasional, ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya.
2.
Sinergi dengan maqhasid syari’ah.
3.
Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
E. Pendapat
Ulama Madzhab Seputar Mashalihul Mursalah
Para
ulama sepakat tidak boleh menggunakan mashalihul mursalah pada aspek ibadah.
Perkara-perkara ibadah tidak bisa direkonstruksi melalui ijtihad atau ra`yu
karena ghoir ma’kulil ma’na (tidak bisa dicerna oleh akal). Sedangkan menambah
syari’at dalam ibadah merupakan bid’ah yang notabene termasuk kategori
menyesatkan.
Dikalangan semua ulama madzhab
hakekatnya menyetujui konsep mashalihul mursalah, hanya permasalahannya ada
pada penggunaan istilah mashalihul mursalah ini sebagai mashadir tasyri’ yang
mustaqil. Ulama madzhab yang secara khusus menerapkan mashalihul mursalah
sebagai mashadir tasyri’ atau ushul madzhab adalah Imam Ahmad bin Hambal
(Hambali) dan Imam Malik (Malikiyah). Sedangkan ulama madzhab yang tidak
menyertakan mashalihul mursalah sebagai referensi adalah Imam Syafi’i
(Syafi’iyyah) dan Imam Hanafi (Hanafiyah).Adapun aliran yang menolak mshalihul
mursalah diantaranya aliran Syi’ah dan Dhahiriyah.
1.
Sesungguhnya adanya syari’at bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia. Merupakan hal yang mustahil jika syari’at tidak
mengandung unsur maslahat. Oleh sebab itu, apabila mashalihul mursalah
digunakan sebagai rujukan berarti ada sebahagian syari’at yang tidak memuat
nilai-nilai maslahat karena ini bertentangan dengan firman Allah {أيحسب الإنسان أن يترك سدي} surat Al-Qiyamah:36.
2.
Adanya keraguan dalam mashalihul mursalah, antara mashalihul
mu’tabarah dengan mashalihul mulghoh karena tidak bisa menggabungkan keduanya.
Maka, dalil tersebut tidak bisa dipakai karena tidak ada yang tahu untuk
menunjukan bahwa orang yang menggunakan mashalihul mursalah itu termasuk
maslahat yang mu’tabarah bukan mulghiyyah.
3.
Menggunakan mashalih sama dengan kebodohan dalam syari’at
karena akan terjadi asimilasi dalam aturan-aturan Islam yang dipengaruhi oleh
egosentris dan kekuasaan yang hegemonik. Dan hukum-hukum tersebut dilandasi
dengan kepentingan pribadi mereka masing-masing dengan klaim maslahat.
Beberapa alasan yang menerima mashalihul mursalah, adalah sebagai
berikut:
1. Bahwasanya syari’at tidak ditetapkan
kecuali untuk kemaslahatan dan nash-nash syari’at beserta hukumnya sangat
varian. Penetapan maslahat mursalah merupakan karakteristik dari syari’at itu
sendiri.
2. Kemaslahatan manusia selalu
mengalami perubahan karena perbedaan situasi, kondisi dan waktu serta tidak
mungkin menyesuaikannya dengan kondisi pada waktu dulu.
3. Sesungguhnya para mujtahid -baik
dari kalangan sahabat atau setelahnya- banyak yang melarapkan ijtihad mereka
dalam menjaga kemaslahatan dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
1. Tujuan awal dari penerapan syari’at
yaitu untuk mewujudkan serta menjaga kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek
kehidupan. Dimana hal tersebut bisa terejawantahkan pada mashalihul mursalah
ini sebagai subordinasi dari karakteristik syari’at.
2. Mashalihul mursalah bisa kita
interpretasikan sebagai upaya untuk mengambil manfaat dan menghilangkan
mafsadat dengan tetap berpijak pada terma-terma umum dari nash syari’at melalui
pendekatan rasio yang akan menghasilkan produk hukum untuk dijadikan
undang-undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan pergeseran
situasi, kondisi dan waktu.
3. Maslahat sendiri terbagi menjadi
tiga bagian besar, yaitu mashalihul mu’tabarah, mashalihul mulghoh
dan mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha.
4. Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah
tidak boleh diterapkan pada aspek ibadah yang sudah final.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media
@
http://pwkpersis.wordpress.com
@
http://milhan.blog.friendster.com
Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenada
Media
Khallaf, A. Wahhab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta
: Rineka Cipta
[1][1]
http://pwkpersis.wordpress.com
[2][2]
Efendi Satria, Ushul Fiqh
[3][3]
http:milhan.blog.friendster.com