Kata pengantar
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha
Esa,kami telah menyelesaikan makalah ini. Makalah yang kami susun berjudul “CIRI-CIRI BERFIKIR FILOSOFIS” makalah
ini berisi pemaparan tentang berbagai ciri berfikir secara filosofis yang
ada didalam kehidupan.
Makalah ini tidak akan terwujud
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankan kami
mengucapkan terima kasih kepada paradosen fakultas tarbiyah khususnya kepada
bapak dosen mata kuliyah filsafat umum dan teman-teman yang secara langsung
maunpun tidak hingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Semoga bantuan yang diberikan kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini secara langsung maupun tidak langsung,
mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kami menyadari bahwa dalam
menulis makalah ini, masih jauh dari sempurna,mengingat keterbatasan kemampuan
kami . Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan sangat berguna
bagi penulisan makalah selanjutnya, semoga makalah ini dapat berguna, khusunya
bagi kami dan umumnya dapat memperluas pengetahuan bagi pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Ciri-ciri berfikir filsafat
2.2. Bagaimana karakteristik berfikir secara filsafati
2.3. Beberapa Metode Berfikir Filsafat
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Filsafat atau philosophy dalam
bahasa inggris, atau falsafah dalam bahasa arab merupakan istilah yang
diwariskan dari tradisi pemikiran Yunani Kuno. Filsafat secara harfiah berarti
“cinta kebijaksanaan”. Mendefinisikan filsafat tidaklah mudah, karena
pengertian filsafat yang ada adalah sejumlah pemikiran para filsosof yang
memberikan definisinya masing-masing, sehingga secara subjektif para filosof
memiliki pengertiannya masing-masing. Dengan demikian, definisi yang mereka
buat saling melengkapi.
Plato mengatakan : “filsafat
memang tidak lain dari pada usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih
yang dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles mendefenisikan filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Sedangkan menurut Descartes, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya (Konrad Kebung, 2005).
Selain pendapat-pendapat para filsuf tersebut, filsafat bisa diartikan sebagai
penjelasan, yaitu menjelaskan semua yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga
metode yang digunakan dalam berfilsafat adalah metode terjemah dan
menerjemahkan.
Filsafat bukan merupakan sesuatu
yang bersifat abstrak karena filsafat tidak hanya berkutat dengan buku-buku
sulit. Akan tetapi filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia
atau berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Dimulai dengan pertanyaan
yang mendasar tentang kehidupan lalu dilanjutkan dengan penggalian. Filsafat
dapat dicapai oleh makhluk hidup yang berakal (manusia) yang ingin memahami
dirinya sendiri dan dunianya. Kemudian hasil dari filsafat adalah cara berfikir
yang mendalam dan tepat tentang kehidupan.
Sehingga secara singkat filsafat
dapat dianggap sebagai berpikir atau pola pikir. Berfikir yang dimaksud adalah
berfikir yang bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Sehingga orang yang
berfilsafat berarti orang tersebut berupaya melakukan pemikiran yang mendalam
dan sistematis tertang berbagai permasalahan yang berkembang agar memiliki
posisi dan pandangan yang jelas tentang suatu permasalahan tersebut. Akan
tetapi sebenarnya berfilsafat itu lebih dari sekedar pola pikir, karena
berfilsafat juga merupakan pola rasa atau pola hati dan pola krida.
Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa berfikir secara filsafat berbeda dengan berfikir biasa, yang membedakan
adalah metode yang digunakannya. Berfikir biasa adalah berfikirnya orang awam,
yaitu berfikirnya masih tercampur, tidak berpola dan tidak sistematis.
Sedangkan berfikir secara filsafat adalah berfikir secara ilmiah, logis dan
diperkuat oleh efiden.
Berfikir memang merupakan hal yang
lazim dilakukan oleh semua orang, tidak hanya dari kalangan tertentu saja, tapi
semua kalangan masyarakat. Tetapi tidak semua dari mereka yang berfikir
filsafat dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal berfikir filsafat sangatlah
penting untuk semua orang dalam rangka menjalani aktivitas sehari-hari, atau
untuk mencari solusi bagi sebuah permasalahan. Jika ditelaah secara mendalam,
begitu banyak manfaat, serta pertanyaan-pertanyaan yang mungkin orang lain
tidak pernah memikirkan jawabannya. Karena filsafat merupakan induk dari semua
ilmu.
Beberapa manfaat berfikir
filsafat, yaitu mengajarkan cara berpikir kritis, sebagai dasar dalammengambil
keputusan, menggunakan akal secara proporsional, membuka wawasan berpikir
menuju kearah penghayatan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya mengapa
setiap orang diharapkan untuk selalu berfikir filsafat kapanpun, dimanapun, dan
dalam situasi apapun ia berada.
Namun kenyatannya, banyak orang
yang masih bingung atau tidak tahu tentang perbedaan cara berfikir secara
filsafat dan berfikir biasa. Banyak orang yang salah mengartikan, bahwa orang
yang berfikir berarti berfilsafat. Padahal sebenarnya orang berfikir belum
tentu berfilsafat walaupun oarang yang berfilsafat berarti berfikir. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang cara berfikir secara
filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ciri-ciri
berfikir filsafat
Berfilsafat
itu berpikir, tapi tidak semuanya itu berfikirdikatakan berfilsafat. Berpikir
nonfilsafati dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Berfikir tradisional
b. Berfrikir ilmiah
Berfikir tradisional, yaitu berfikir
tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berfikir ilmiah. Artinya berfikir yang
hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek
moyang, sehingga merupakan warisan lama.
Sedangkan
yang dimaksud berfikir ilmiah, berfikir yang memakai dasar-dasar /
aturan-aturan pemikiran ilmiah, yang diantaranya:
a. Metodis
b. Sistematis
c. Obyektif
d. Umum
Berfilsafat
termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir.
Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa
dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya,
seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah
sedang berfilsafat atau berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang
jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena
itu ada beberapa ciri berfikir secara filsafat, seperti yang diungkapkan dalam
buku metodologi penelitian filsafat[1],
antara lain adalah:
1. Metodis
Menggunakan metode, cara, jalan yang lazim
digunakan oleh para filsuf dalam proses berfikir filsafati.
2. Sistematis
Dalam berfikir, masing-masing unsur saling
berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan, sehingga dapat
tersusun suatu pola pemikiran yang filosofis.
3. Koheren
Dalam berfikir unsur-unsurnya tidak boleh
mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain namun juga memuat uraian
yang logis.
4. Rasional
Harus mendasarkan pada kaidah berfikir yang
benar (logis).
5. Komprehensif
Berfikir secara menyeluruh, artinya melihat
objek tidak hanya dari satu sisi / sudut pandang, melainkan secara
multidimensional.
Disinilah perlunya filsafat dan ilmu
pengtahuan saling menyapa dan menjenguk.
6. Radikal
Berfikir secara mendalam, sampai akar yang
paling ujung, artinya sampai menyentuh akar persoalannya, esensinya.
7. Universal
Muatan kebenarannya sampai tingkat umum
universal, mengarah pada pandangan dunia, mengarah pada realitas hidup dan
realitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
2.2. Bagaimana
karakteristik berfikir secara filsafati
Dan menurut Drs.Suryadi MP pemikiran
kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu menyeluruh, mendasaar, dan
spekulatif.hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto Wirodiningrat yang
menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh,
mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri
berfilsafat, yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif,
speklatif, dan sistematik[2].
Menurut Alkhawaritzmi (2009)[3],
ada tiga macam karakteristik berfikir secara filsafat, antara lain:
1. Menyeluruh
Artinya
pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari
satu sudut pandang tertentu.. pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui
hubungan-hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, hubungan ilmu
dengan moral, seni dan tujuan hidup.
2. Mendasar
Artinya
pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamentalis atau esensial objek
yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai
dan keilmuan. Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi
tembus sampai ke kedalamannya.
3. Spekulatif
Artinya
hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil
pemikiran selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayaha
pengetahuan nyang baru. Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran
kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai keselesaian.
Selain mempunyai ciri diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5 prinsip penting dalam berfilsafat, yaitu :
1. Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri (congkak).
2. Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap kebenaran.
3. Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam mencari jawabannya.
4. Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap intelektual secara tertulis maupun lisan.
5. Bersikap terbuka.
2.3. Beberapa Metode
Berfikir Filsafat
Para filsuf
dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir filsafati, dalam proses
mencari kebenaran. Mereka mampu menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk
menngungkap misteri kehidupan manusia. Bahkan tidak hanya manusia yang menjadi objek pemikiran,
tetapi meliputi segala yang ada dan mungkin ada. (tuhan, alam
semesta, manusia). Pola pemikiran dalam metode berfikir (berfilsafat)
berawal dari titik pangkal dan dasar kepastian, seperti logika konsepsional dan
intuisi, seperti penalaran (induktif) dan penalaran (deduktif).
Beberpa metode
berfikir (berfilsafat) yang telah dirumuskan oleh Dr. Anton Bakker dalam buku
yang berjudul metode-metode filsafat antara lain dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode Intuitif (Plotinus dan Henri Bergson)
2. Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)
3. Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)
4. Metode Eksperimental (David Hume)
5. Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)
6. Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)
7. Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)
Manusia diciptakan oleh Allah dengan
kemampuan yang lebih di banding dengan makhluk ciptaan Allah yang lain.
Misalnya perbedaan manusia dengan hewan, manusia diberi anugerah berupa akal
pikiran yang bisa digunakan untuk bernalar, sedangkan hewan tidak dianugerahi
akal pikiran. Hal itulah yang mengakibatkan derajat manusia lebih tinggi
dibanding dengan makhluk yang lain.
Kemampuan bernalar pada manusia menyebabkan
manusia mampu mengembangakan ilmu pengetahuan yang merupakan rahasia
kekuasaan-Nya. Sedangkan karena binatang tidak memiliki nalar, maka binatang
tidak bisa mengembangkan pengetahuannya, hanya untuk kelangsungan hidupnya
(survival). Karena setiap orang diberi anugerah berupa kemampuan untuk
bernalar, maka sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk berfikir secara
filsafati. Hanya saja yang membedakan orang yang satu dengan yang lain adalah
apakah orang itu berusaha melakukan kegaiatan berfikir dengan mengunakan
penalaran atau tidak. Misalnya saja orang gila, maka dia tidak bisa menggunakan
akalnya untuk berfikir secara nalar.
Contoh
lain yang sangat sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di
sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga
mawar tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi,
akan sangat berbeda jika kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan
tampak mudah dan sederhana karena akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam
pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan untuk apa bunga itu
ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Yang kedua,
misalnya setelah bunga mawar tersebut dicermati ternyata warnanya sangat unik,
dan bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang biasanya. Hal tersebut
akan menjadi karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan hanya akan
bisa dijelaskan oleh ahli botani/tanaman. Ketika kita mengamati dan timbul
pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita, maka berarti kita telah menggunakan
penalaran kita.
Penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Adapun ciri-ciri penalaran :
a.
Adanya suatu
pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Maksudnya penalaran
merupakan suatu proses berpikir logis dalam artian kegiatan berpikir menurut
suatu pola tertentu, atau logika tertentu.
b.
Bersifat
analitik dari proses berpikirnya. Artinya penalaran merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah.
Berdasarkan
ciri-ciri di atas, maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir
bersifat logis dan analitik. Atau dapat disimpulkan cara berpikir yang tidak
termasuk penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik.
Aristoteles
menegaskan bahwa “setiap orang menurut kodratnya memiliki hasrat ingin tahu”
(Melia, 2010). Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar
kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu.
Cara itu disebut logika. Oleh karena itu berfikir filsafati dapat dialakukan
oleh manusia dengan cara menggunakan logika. Menurut saya, logika adalah jalan
pikiran yang masuk akal. Logika digunakan untuk menarik suatu kesimpulan dari
suatu analisis dengan benar. Logika juga menjadi sarana untuk berpikir
sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu berpikir logis
adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak
boleh lebih besar daripada satu.
Logika
dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan
segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada
akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
Thales
mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama
alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles
kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica
scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air
adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.
Dalam
logika Thales (Haris, 2012), air adalah arkhe alam semesta, yang menurut
Aristoteles disimpulkan dari:
- Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena
tanpa air tumbuhan mati)
- Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
- Air jugalah uap
- Air jugalah es
Jadi, air
adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Sejak
saat Thales mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum
Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan
saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan
analitica, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari
proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi
yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari
logika Aristoteles adalah silogisme. Selanjutnya muncul tokoh-tokoh logika
modern, kemudian logika berkembang terus menerus hingga sekarang.
Metode
yang ditempuh agar bisa berfikir secara logis atau berfikir dengan menggunakan
logika adalah dengan dengan cara melakukan anlisa dan sintesa. Analisa
merupakan kegiatan untuk merinci atau memeriksa sesuatu. Dalam kegiatan analisa
ini ada dua hal yang bisa ditmpuh, yaitu: (1) menguji istilah dari segi
penggunaannya, bisa denganmelakukan pengamatan terhadap contoh-contoh penerapan
istilah yang dimaksud. Dalam hal ini seseorang memahami suatu kata atau istilah
secara ekstensif. Misalnya seseorang ingin memahami kata atau istilah
“keberanian”. Dari segi ekstensi, dia mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana
kata ini digunakan, sejauh mana kata “keberanian” menggambarkan realitas
tertentu, bagaimana “keberanian” dikomparasikan dengan sifat atau trait lainnya
dari “yang ada”, dan sebagainya. Untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah, orang tersebut juga bisa
melakukannya dengan mendefinisikan kata atau istilah itu secara langsung. (2)
menyingkapkan makna kata dengan menganalisa sifat-sifat kata atau istilah
tersebut.
Sedangkan
sintesa merupakan lawan dari analisa. Sintesa ialah mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan baru. Dengan
metode sintesa ini akan memungkinkan seorang untuk mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh sehingga dapat menyusun suatu pandangan baru
terhadap hal-hal yang diamati.
Adapun
cara yang dapat dialakukan untuk penarikan kesimpulan dengan menggunkan logika
ada dua macam (The Liang Gie, 2000: 21), yaitu :
1. Logika Induktif
Logika
induktif yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat khusus.
Contoh 1:
Kambing
mempunyai mata
Gajah
mempunyai mata
Kucing mempunyai mata
Burung mempunyai mata
Jadi”semua
binatang itu mempunyai mata”.
Contoh 2:
Buncis ini
(adalah) berasal dari kantong itu
Buncis ini
(adalah) putih
Jadi “semua
buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih”
2. Logika Deduktif
Logika
deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan kesimpulan yang bersifat khusus
dari kasus yang bersifat umum.
Contoh 1:
Semua logam
dipanasi memuai
Seng termasuk logam
Jadi “seng
dipanasi pasti memuai”
Contoh 2:
Semua buncis
yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
Buncis ini
(adalah) berasal dari kantong itu
Jadi “Buncis
ini (adalah) putih.”
Baik logika induktif dan logika
deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa
pengetahuan yang dianggap benar. Adapun cara untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar itu adalah berdasrkan rasio dan pengalaman. Kaum yang mengembangkan rasio
dikenal dengan nama kaum rasionalisme, sedangkan mereka yang mengembangkan
pengalaman disebut dengan empirisme.
Kaum
rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima. Pengalaman tidak membuahkan prinsip dan justru
sebaliknya, hanya dengan pengetahuan prisip yang dapat dilewat penalaran
rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian. Kejadian yang berlaku dalam
alam sekitar kita.
Berlainan
dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu bukan di dapat lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman
yang kongkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah
kongkrit dan dapat dinyatakan lewat tanggapan panca indera manusia sebagai
contoh langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Ciri-ciri berfikir secara filsafat ada delapan, yaitu:
a. Berfikir secara radikal
b. Berfikir secara universal
c. Berfikir secara konseptual
d. Berfikir secara koheren dan konsisten
e. Berfikir secara sistematik
f. Berfikir secara komprehensif
g. Berfikir secara bebas
h. Berfikir secara bertanggung jawab
2. Karakteristik berfikir secara filsafat ada tiga, yaitu:
a. Menyeluruh
b. Mendasar
c. Spekulatif
3. Cara berfikir filsafati adalah dengan menggunakan
logika, karena logika dapat menjadi sarana untuk berpikir sistematis, valid dan
dapat dipertanggung jawabkan. Dengan menggunkan logika kita juga bisa menarik
kesimpulan dari suatu analisis dengan
benar. Metode yang digunakan untuk dapat berfikir secara logis ada dua, yaitu
analisa dan sintesa. Sedangakan cara penarikan kesimpulan dengan logika ada dua
macam, yaitu:
a. Logika induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat
umum dari berbagai kasus yang
bersifat khusus.
b. Logika deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan
kesimpulan yang bersifat khusus dari kasus yang bersifat umum.
2.3.
Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf
atas segala kekurangan yangterdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dansaran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat
dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 52.
Filsafat
ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor,
Tarmizi.—ed. 1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.
Alkhawaritzmi.(2009).
Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.
Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.
[1] Drs. Sudarto, Metodologi
penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),
hal. 52.
[2]Filsafat ilmu
dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor, Tarmizi.—ed.
1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.
[3]Alkhawaritzmi.(2009).
Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.
Melalui:http://alkhawaritzmi.wordpress.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.