BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berangkat dari sebuah hadits Rasulullah s.a.w. “Sebaik-baik
masa adalah masaku, masa setelahku dan masa setelahku”.
Ibnu
Hazm (384-456H) berkata : “Semua shahabat ialah ‘adil, utama diridhai, maka
wajib atas kita memulyakan mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk
mereka dan mencintai mereka”.
Dari dua sumber informasi tersebut, jelaslah ingin
menyampaikan kepada kita agar kita mempelajari sejarah kehidupan masa-masa ini.
Antara masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabat, satu abad masa setelah mereka
dan satu abad setelah masa tabi’in sebagai salah satu upaya bagi kita untuk
meningkatkan perilaku akhlakul karimah di tengah-tengah kehidupan.
Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. dan para
sahabat merupakan agama Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat
bagaimana kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya
yaitu Rasulullah s.a.w. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para
sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan
sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana hampir
2/3 bumi yang kita huni ini dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu
tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan
dan juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama tauhid yang diridhoi.
Masalah subtansi yang harus dicermati adalah bagaimana
mengambil pembelajaran dari perjalanan panjang hidup, yang telah mereka
pertaruhkan dalam membangun sebuah peradaban. Kemudian peradaban inilah kelak
yang akan mewarnai kehidupan dunia, membuka cakrawala berfikir umat manusia.
Pada makalah sederhana ini, akan mengambil salah satu satu
kilas balik sahabat Ali bin Abi Thalib dan berbagai upaya kebijakan dan
penegakan hukum yang diterapakan pada masa kekhalifahannya yang dapat dijadikan
sebagai landasan hukum yang mencerminkan akhlakul karimah terhadap fenomena
penegakan hukum yang terjadi pada zaman sekarang. Dalam kehidupan masyarakat
yang sangat komplek sekarang ini, muncul berbagai problem kehidupan yang
merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Keadaan hidup yang sudah
mempengaruhi pola kehidupan masyarakat kita disebabkan faktor-faktor dari diri
individu maupun factor lingkungan luar. Islam merupakan suatu sistem ajaran
yang lengkap untuk mengatur tata kehidupan guna memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Timbul beraneka ragam gejala perilaku yang kurang sesuai dengan
norma yang ada dalam kehidupan sosial baik yang disebabkan oleh faktor eksternal
yang berupa kondisi fisik manusia yang serba mengandalkan sarana dan
prasarana alat canggih namun secara mental belum mempunyai kekuatan untuk
menerima perubahan-perubahan baru dan lain sebagainya, maupun faktor internal
yang berupa kurangnya penyaluran emosi, kelemahan dalam mengendalikan
dorongan-dorongan dan kecenderungannya, kondisi jiwa manusia yang lemah dalam
menata sumber daya diri ke arah yang lebih baik dalam berinteraksi dengan
lingkungan,
seperti penanaman moral, akhlaq, etika, sikap bertanggung jawab dan lain sebagainya.
1.2.Rumusan
Masalah
Dalam makalah yang
berjudul “Penegakan Hukum pada Masa Ali Bin Abi Thalib dalam meluruskan
Akhlaqul Karimah” terdapat masalah – masalah yang benar – benar harus
diperhatikan, supaya memudahkan kepada seluruh pembaca makalah ini, diantaranya
:
a. Siapakah
Ali bin Abi Thalib itu?
b. Masalah
apa saja yang terjadi pada masa Ali?
c. Apa
kaitanya dengan pelurusan Akhlaqul Karimah?
d. Contoh
kasus apa yang relevan dengan zaman Ali?
1.3.
Tujuan
“Banyak
jalan menuju Roma”, itulah yang menjadi patokan ketika
kita sudah mandeg dengan salah satu tujuan kita, makanya biar tidak terjadi apa
yang tidak kita inginkan kami menyusun makalah ini bertujuan sebagai berikut :
a. Mengenalkan
Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu khalifah
b. Mengenalkan
sistem kekhalifahan di masa Ali
c. Mengintegrasikan
semua kejadian masa Ali dengan masa sekarang
d. Menginterkoneksikan
dengan berbagai keilmuan yang ada
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Biografi Ali Bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah,
daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab.
Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600
(perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di
dalam Ka’bah. Ketika Fatimah bint Asad sedang thawaf mengelilingi
Ka’bah, dan merasakan perutnya mulai mengalami kontraksi tanda-tanda kelahiran.
Ketika itu lahirlah sosok bayi mungil putra terakhir Abu
Thalib. Lahir “Fi Jaufi Ka’bah” dan menjadi satu-satunya suku Qurasy
yang lahir di dalam Ka’bah dan sesama keturuan Qurays.
Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga
kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun,
ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau lahir bernama Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah
s.a.w. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat
menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy
Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah s.a.w.
terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti luhur,
tinggi dan agung (derajat di sisi Allah).
Ali merupakan nama yang asing ditelinga orang Arab pada
umumnya pada waktu itu. Dinamakan Ali karena lahir ditempat yang dianggap
tinggi derajatnya dan untuk memuliakan tempat tersebut, serta harapan dan doa
kelak menjadi orang yang mulia.[1]
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi
Rasulullah s.aw. karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir-nya
keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulu
bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan
menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak
beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Keduanya termasuk orang hamidiyah (baik dari segi budinya). Maka Ali
diasuh di lingkungan yang senantiasa dilingkupi kebaikan. Kelak ini pulalah
yang mempengaruhi pertumbuhan jiwa dan raga, alam pemikirannya.
Ketika Rasulullah s.aw. menerima wahyu, riwayat-riwayat
lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki
pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke dua yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu
Ali berusia sekitar 10 tahun.[2]
Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan Quraisy
yang lahir dari ibu dan bapak yang sama-sama dari keturunan Bani Hasyim.
Sebelum itu keluarga Bani Hasyim selalu bersemenda dengan keluarga lain di luar
mereka. Kuniah-nya adalah Abu Hasan, ia digelari Abu Turab dan Karramallahu
Wajha. Ia adalah sepupu Nabi Muhammad s.a.w. sekaligus menantu Nabi, Ali
bin abi Thalib menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah saw dengan Khadijah.
Ali bertunangan dengan Fatimah sebelum Perang Badar tetapi pernikahan mereka
dilangsungkan kira-kira tiga bulan selepas itu. Ketika itu Ali berusia 21 tahun
dan Fatimah berusia 15 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar
langsung dari Rasulullah s.a.w. karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu
dekat dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama
Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada
pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan
istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak
kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.[3]
Bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik
yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus
disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa
diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan
langsung dari Rasulullah s.a.w. kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik
aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf
menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak,
fasih dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan
hadits Rasulullah s.aw.[4]
Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa
dan selalu hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan
paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani, sewaktu Nabi saw mau
meninggalkan rumah pada malam peristiwa hijrah ke Madinah, Nabi berpesan kepada
Ali supaya tidur di perbaringannya. Ali dengan tenang menerima arahan Nabi saw
dan tidur dengan nyenyaknya sehingga orang-orang kafir Mekah menyerbu masuk ke
rumah Nabi dan menyergap Ali yang disangka Nabi saw itu. Tidak hanya diuruh
menggantikan perannya tidur di pembaringan Nabi, Ali juga diberikan amanat
untuk menjaga barang-barang dan harta titipin kaum qurays kepada Nabi agar
dijaga dengan baik.
Suatu ketika Ali juga diberikan tugas memimpin rombongan
perempuan berhijrah menyusul Nabi Muhammad s.a.w. Beliau menghalau kaum quraisy
yang menghalangi perjalanannya, beliau juga rela berjalan kaki sepanjang kurang
lebih 500 mil menuju Madinah. Inilah juga yang kelak menjadikannya sebagai
menantu Rasul, karena pengorbanannya yang luar biasa.
Demikian pula peranannya dalam perang badar bersama Nabi dan
para sahabat, perang uhud, perang parit dan tempat-tempat lainnya. Dalam perang
khandak misalnya, tak ada yang berani menyambut tantangan duel Amr bin Abdul
Wudd selain Ali. Ali maju dan duel pun terjadi dan dalam waktu tak seberapa
lama Ali berhasil memisahkan kepala jago tanding Quraisy itu dari badannya.
Selain pemberani, Ali bin abi Thalib juga dikenal dengan
akhlaknya yang sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada, tidak pendendam,
selalu memelihara silaturahmi. Ia seorang yang zuhud serta wara’.
Beliau adalah orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat terkemuka
bertanya dalam masalah hukum-hukum-hukum agama yang musykil atau tentang makna
sebuah ayat dalam al-Quran atau tafsirnya.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai orang alim dan cerdas,
ketika Abu Bakar menjadi khalifah, dia tidak dalam musyawarah penting. Demikian
pula halnya ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah yang kedua, dia tetap
memperoleh kemuliaan dan penghormatan dari Umar bin Khattab sebagaimana semasa
pemerintahan Abu Bakar, Walaupun diketahui bahwa Umar bin Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat
ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada
Ali bin Abi Thalib di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit bahkan dalam
riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit
tanpa dihadiri oleh Ali Bin Abu Talib.
Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat.
Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada
murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu
seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok
yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata
Rasulullah, “jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu
gerbangnya”. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu
tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia ‘terbangun’ kembali ke gelanggang
untuk menyelesaikan ‘benang ruwet’, sebuah nokta merah dalam sejarah Islam.
Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.
2.2.Pembaiatan Ali Bin Abi Thalib
Sebagai Khalifah dan Kemajuan yang Dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan
Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak
ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman. Mendengar
permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini
adalah
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5]
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5]
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi
pada saat pemilihan khalifah Utsman bin Affan, tetapi saat itu dia masih
dianggap sangat muda. Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
menggantikan Utsman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga
Utsman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan
mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat
mereka lakukan sebelumnya.
Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan
pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang
yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.[6]
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara
pemerintahan Umar yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam
kesenangan dan kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Utsman bin Affan yang
mudah dan lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan,
hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umayah sebagai kaum elit dan
kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena
keadilan yang akan dijalankan Ali.[7]
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan
politik seperti sebagai berikut :
- Menegakkan hukum
finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor
bisnis.
- Memecat Gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru.
- Mengambil kembali tanah-tanah
negara yang dibagi-bagikan Utsman bin Affan kepada keluarganya,
seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara jelas
dan memfungsikan kembali baitul maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang
dilakukan sedikit mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di
daerah pesisir Arab dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang
telah ditaklukkan Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian
Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan
Mesir. Serta pada masa Utsman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia
hingga Georgia.[9]
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang penyair
ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah
kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan
berujung pada ….., [10]
Syair-syair
Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah. Masa pemerintahan Ali yang
kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari
pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus
masalah pemberontkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di
atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan mempercayainya dari
pada memikirkan administrasi negara yang teratur dan mengadakan ekspansi
perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra
pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang
sangat wajar dan pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat
pertentangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk memperebutkan
kekuasaan yang diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya Utsman dan
juga pemecatan-pemecatan pejabat serta pengembalian harta milik yang tidak
jelas.
2.3.Pemberontakan
Terhadap Ali Bin Abi Thalib
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat
Ali karena ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali
memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas
intelektual yang memadai. Namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga
sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai
Gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia
dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi
pernah diangkat oleh pendahulunya Utsman yang mana kebijakan-kebijakan yang
ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi
Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari
yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang
pada saat itu telah berhasil membangun Syiria menjadi kota sangat strategis dan
memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah. hal ini membuat tidak
tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan. [11]
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah
orang yang patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Utsman bin Affan
dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah
sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntut kematian Utsman bin Affan
kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.[12]
Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan salah
satu fitnah yang besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli
sejarah Islam pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali
sebagai khalifah.[13]
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan
tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil. Terhadap
berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya
pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat
mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur,
misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati
Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya.
Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap
Ali.[14]
Marshall GS. Hudgson memaparkan: “Setelah itu dua lusin tahun
setelah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung
selama lima tahun). Yang makna harfiahnya “godaan” atau “cobaan-cobaan”, suatu
masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori
taklukannya yang luas”.[15]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali
tidak terlepas dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan
bentuk perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya
terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang
tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran
pergerakan Islam.
2.4.Perang Jamal
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut,
janda Rasulullah s.a.w., putri Abu Bakar Shiddiq. Aisyah ikut dalam peperangan
dengan mengendarai Unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul
Akhir tahun 36 H./657 M.
Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang
sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan
Aisyah dan Untanya. Walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang
dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas
kematian Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan
Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah,
disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan
tipis bahwa hukum akan ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah
menetapkan kebijakan sendiri karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian
mereka dengan dukungan dari keluarga Umayah menuntut balas atas kematian
Utsman. Akhirnya mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana
mereka mendapat dukungan masyarakat setempat.[16]
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah
mendengar kabar bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan
pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya
untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga
orang tokoh terkenal yaitu Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya
di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya
ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata
menuntut balas atas kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi
antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan
selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali
memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan jabatan
khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang
tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir faktor Abdullah bin Zubair,
kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan
memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap Ali.[17]
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa
Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubair
melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan
menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini,
sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga akhirnya untanya dapat
dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah
bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh
kehormatan dan kemuliaan.[18]
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena
keinginan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan
Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair
bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah
sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.[19]
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan
pokok untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas
bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair
dan Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan
perang. Ia memberi bagian yang sama kepada semua orang tanpa memandang status,
suku dan asal-usul mereka.[20]
2.5.Perang Siffin dan Tahkim
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan
pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin
dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan
Shafar tahun 37 H./658 M.[21]
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani
Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi
gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas
kematian Utsman kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah
Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan
belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi
tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat
gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam,
untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau
meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum
tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum
sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini ditandai
dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan
pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat
menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di
wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas
pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan
pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah,
motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas
kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina.
Ia sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa
awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh
Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan
mempunyai peran yang sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya
lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan
pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan
dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang
terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan
jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak
tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya
membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah
hampir memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap
melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan
Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan
mengangkat Al-Qur’an.[22]
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya
Ali dengan berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu
hanya sisat busuk dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak
Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak
Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat kesepakatan untuk
menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih
seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang
tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua
pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash
kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari
jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak
menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.[23]
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali
dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau
tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya
naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan
jabatannya sebagai khalifah.[24]
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh
sebagian tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap
bahwa tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar
dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan
membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum
‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku
arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak
berhukum pada hukum Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu
Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.[25]
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak
politik saja, tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman
agama Islam (sekte).
2.6.Contoh Kasus Penegakan Hukum Pada Masa
Khalifah Ali
Alkisah pada zaman Ali, terjadi suatu peristiwa yaitu Ali
kehilangan baju besinyadalam suatu peperangan. Kemudian setelah masa damai dan
aman baju tersebut dilihat oleh Ali dipakai oleh seorang Yahudi. Ali mengadukan
kasus ini ke pengadilan dengan tuduhan bahwa Yahudi itu telah mencuri baju besi
miliknya. Pengadilan saat itu dipimpin oleh hakim agung Abu Ubaidah, segera
menggelar perkara dengan penggugat Khalifah Ali dan tergugat seorang yahudi.
Yahudi itu mengatakan bahwa baju besi itu miliknya. sedang Ali sebagai
penggugat juga mengatakan demikian, yang jatuh pada suatu peperangan.
Hakim berkata kepada Ali : “karena anda yang menggugat, saya
minta kepada anda supaya mendatangkan seorang saksi yang dapat membuktikan
bahwa baju besi ini milik anda”. Khalifah Ali lantas memanggil anaknya Hasan
dan Husein untuk bersaksi bahwa baju besi itu milinya. Kata hakim “Keluarga
sendiri tidak dapat dijadikan saksi pada perkara ini”. Karena penggugat tidak
dapat mendatangkan saksi, maka hakim memutuskan bahwa pemilik baju besi itu
adalah orang yahudi. Ali sebagai pimpinan tertinggi umat isalmsaat itu menerima
putusan hakim dengan senang hati, sekalipun beliau yakin seyakinnya, bahwa baju
besi itu miliknya. beliau tunduk kepada hakim sekalipun beliau adalah penguasa
tertinggi. [26]
Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini?
Pertama, pada masa itu hakim sangat
berwibawa, keputusannya tidak pandang bulu, sekalipun yang menggugat peguasa
tertinggi, dia tetap menegakkan hukum dengan baik tanpa menon aktifkan khalifah
terlebih dahulu.
Kedua, Khalifah melaksanakan keputusan
itu dengan serta merta tanpa menunda-nunda.
Begitulah penegakan hukum dinegara Islam pada empat belas abad yang silam. Bandingkan dengan penegakan hukum dinegara kita tercinta ini pada zaman modern ini.
Begitulah penegakan hukum dinegara Islam pada empat belas abad yang silam. Bandingkan dengan penegakan hukum dinegara kita tercinta ini pada zaman modern ini.
2.7.Akhir Pemerintahan Ali
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya
sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang
serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir
karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara
Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah
untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan
kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang
tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah,
Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang
akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661 M., oleh
Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh
tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash,
mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.[27]
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya
Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini
dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di
bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H. (661 M.), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah).
Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin,
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.[28]
2.8.Contoh Kasus Penegakan Hukum yang Tidak
Adil di Masa Sekarang
Putusan Sandal
Jepit (PSJ) dengan terpidana AAL menarik perhatian banyak kalangan. Perhatian
yang semula pada keprihatinan pencurian sandal oleh subyek hukum yang belum
dewasa dan dituntut hukuman 5 tahun menjadi perdebatan apakah putusan hakim
terhadap AAL sudah adil (dan benar). Keprihatinan
muncul dari nilai barang yang dicuri dengan ancaman hukuman dinilai oleh
masyarakat sangat melukai perasaan keadilan.
Proses penyidikan
terhadap anak yang tidak memperhatikan UU Perlindungan Anak dengan proses
beracara yang berbeda dengan pidana yang dilakukan orang dewasa adalah bentuk
ketidakpatuhan terhadap hukum sendiri. Nalar keadilan publik meretas mencuri
sandal jepit (meski tertangkap tangan) di proses secara hukum (disidik) dan
diajukan ke pengadilan, dilain pihak untuk memproses (menegakkan hukum) untuk
kasus-kasus korupsi demikian sulit dan (kadang) berbelit. Keadilan social
terciderai dengan fakta hukum dan perbedaan penegakan hukum yang dinilai oleh
public.
Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi
Tengah, menyatakan AAL (15) bersalah atas tuduhan mencuri sandal jepit milik
seorang polisi.
Menurut Taufik, perkara AAL hanya salah satu dari banyak
kasus yang mengorbankan rakyat kecil dalam jerat hukum akibat kriminalitas
sepele. Hukum yang semestinya melindungi dan menegakkan keadilan justru terasa
tak adil. Semua itu mencerminkan arogansi elite yang menggunakan kekuasaannya
untuk mengatur proses hukum. Tanpa memihak keadilan dan rakyat, hukum hanya
prosedur yang kehilangan moralitas. Hukum menjadi permainan.
Jika kondisi ini berlanjut, rakyat
terus menjadi korban. Tanpa kekuasaan dan modal, mereka mudah diincar jerat
hukum. Akibat berikutnya, masyarakat bakal semakin kehilangan kepercayaan
terhadap hukum dan pemerintah.
Herdi menilai, praktik hukum yang menindas rakyat
menunjukkan berlanjutnya struktur dan mental kolonialisme dalam pemerintahan
Indonesia. Birokrasi yang semestinya melindungi dan melayani rakyat justru
menindas. Hukum untuk menjamin kepentingan modal dan elite. Reformasi hukum
yang dicitrakan selama ini ternyata semu.[29]
”Semua elemen bangsa harus mendorong
reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman agar
menjalankan hukum secara tegas, adil, dan bersih. Reformasi ini harus
dikerjakan bersama oleh legislatif, eksekutif, yudikatif, dan civil society,”
katanya.
Masyarakat diharapkan terus
menggalang solidaritas untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Hal ini
perlu kerja sama dengan semua tokoh dan memanfaatkan jaringan media sosial.
Media juga perlu tetap mengawal hukum dan mendorong penegakan keadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian makalah singkat ini, dengan segala keterbatasan,
penulis mengurai benang merah makna tersirat dalam sejarah Sahabat Sayyidina
Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah sebagai berikut :
Pertama; Bahwa sebuah penamaan yang baik bagi seorang
Anak merupakan hal yang penting, tidak bisa dikesampingkan. Sebab dengan nama
baik akan memberikan dampak positif baginya. Peralihan nama Haidar/Asad menjadi
Ali merupakan hijrah pertama menuju kebaikan pada diri Ali bin Abi Thalib.
Kedua; Lingkungan keluarga akan sangat menentukan
dalam pendidikan pribadi anak. Keluarga, lingkungan yang baik akan menumbuhkan,
mencetak generasi unggul. Sebagaimana Ali dibentuk dalam suasana dan pasangan
al-hamidiyah Muhammad s.a.w. dan Khadijah Al-Kubra.
Ketiga; Ali diberikan amanat, berupa titipan dari Nabi
untuk tidur menggantikan beliau karena makar kaum Qurays. Tidak hanya itu, ia
juga dipesankan agar menjaga baik-baik harta benda kaum Quraisy yang dititipkan
kepada Nabi. Walaupun kaum Quraisy tidak percaya kenabiannya, tetapi mereka
percaya bahwa Muhammad adalah orang jujur. Filosofinya adalah, tempat-tempat
penitipan seperti “Bank” harus berlaku amanah, memberikan rasa aman kepada
nasabahnya sebagaimana yang dilakukan Nabi dan Ali dalam memelihara harta dan
benda titipan.
Keempat; Ketika Ali melamar Sayyidah Fatimah Az-Zahra
putri Rasulullah. Beliau tidak mempunyai harta apapun, melainkan baju perang
pemberian Rasul. Maka itu pulalah yang dijadikan sebagai maharnya. Singkatnya,
bahwa Nabi merayakan pernikahannya dengan sederhana, singkat, dan tidak
bertele-tele menentukan pasangan putrinya, tetapi sudah tahu secara sempurna
siapa pasangannya. Tidak seperti masa sekarang yang membutuhkan berliku-liku
perjalanan, tetapi belum tentu dengan pasti siapa sesungguhnya pribadi
menantunya.
Kelima; Bahwa suatu ketamakan, kebencian dan fitnah
menimbulkan dampak yang lebih besar dari sekedar pembunuhan, dilukiskan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan Mu’awiyah, Amr. bin Ash, Thalhah dan Zubair
dapat menjadikan disintegrasi umat Islam. Karena perbuatan demikian, terjadilah
pertumpahan darah.
Keenam; Seberat apapun rintangan, cobaan dan mara
bahaya yang dihadapi kebenaran dan keadilan di tengah-tegah umat harus
ditegakkan dan harus menjunjung tinggi undang-undang (keputusan) yang berlaku.
Ketujuh; Pada masa sepeninggal Rasulullah, beliau
Sayyidina Ali menjadi pemikir, menajamkan pandangan bathinnya untuk mendalami
agama dan hubungunnya dengan sesama makhluknya. Menginspirasi kepada kita,
supaya senantiasa terus berfikir dan tidak stagnan dalam kehidupan bergama
membangun sebuah peradaban.
3.2.
Saran
Suatu karya tulis tidk akan pernah
dikatakan sempurna sebelum ada yang membaca dan berusaha mengomentari apa yang
ada dalam karya itu, baik dari segi bahasanya, tata letak kalimatnya, hingga
substansi atau esensi yang ada pada tulisan atau karya itu.
Maka dari itu kami harapkan setelah
ada yang membaca makalah ini, kami tunggu kritik dan sarannya, tentunya yang
bisa membangun dan tidak ada unsur rasis dalam mengeritik maupun
mengomentarinya. Disamping kami minta kritik dan saran, kami juga berpesan
bacalah makalah ini berulang – ulang niscaya apa yang ada dalam makalah ini
akan segera pindah ke dalam pikiran anda.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Syalabi. 1982.Sejarah dan Kebudayan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Asghar,
Ali Engineer.1999.Asal Usul dan Perkembangan Islam.Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
As’ari,
Hasan. 2006.Menguak Sejarah Mencari Ibrah. Bandung : Citapustaka Media
Budhi,
Munawwar Rachman. 2006.Ensiklopedi Nur Cholish Majid. Jakarta : Mizan
Hadariansyah.
2008.Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam. Banjarmasin:
Antasari Press
Marshall,
GS Hudgson.1999.The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam,
Terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Paramadina
Mursi,
Syeikh Muhammad Sa’id. 2007.Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj.
Khoiril Amru Harahap.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Sou’yb,
Jousouf,.1979.Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin.Jakarta: Bulan Bintang
http://hukum.kompasiana.com
http://www.cybermq.com
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib.
di akses 13 Maret 2013
[2]
Ibid
[3]
Ibid
[4]
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982,
h.281
[5]
Ibid, h.284
[6]
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
Antasari Press, Banjarmasin, 2008, h. 13
[7]
Syalabi, Loc. Cit. h. 283
[8]
Ibid, 284-285 juga di dapat penjelasan lebih lanjut oleh Marshall GS Hudgson, The
Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi
Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 312
[9]
As’ari, Hasan, Menguak Syarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung,
2006, h. 253.
[10]
Mursi, Syeikh Muhammad Sa’id, Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj.
Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007, h. 22
[11]
Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, h. 259
[12]
Ibid, h. 260
[13]
Rachman, Budhi Munawwar, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, 2006,
h.146-147
[14]
Syalabi, Ibid, h 285
[15]
Hudgson, Marshall GS, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 309
[16]
Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Jakarta, Bulan
Bintang, 1979, h. 471
[17]
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, h.288-289
[18]
Ibid, h.292-293
[19]
Ibid, h. 296-297
[20]
Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, h. 260-262
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Shiffin.
di akses 14 Maret 2013
[22]
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, h.
14-15
[23]
Ibid, h. 16
[24]
Nasution, Harun, Telogi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, Jakarta, 1986 h. 5
[25]
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982,
306-307
[26]
http:// Kisah Sejarah Khalifah Ali - ANNEAHIRA.COM.html, di akses 14 Maret 2013
[27]
Ibid
[28] http://www.cybermq.com. Di akses 13 Maret
2013
[29]
http:// http://hukum.kompasiana.com/2012/01/06/adil-tidak-berarti-harus-dihukum-ringan-atau-tidak-dihukum-425355.html.
di akses 20 Maret 2013