Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam walaupun
ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat
bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram,
seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh,
bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)”
maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah
munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status
hukum haram ? Sebab
bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah
yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib,
sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status
hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap
sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk
bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih
dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan
kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status
hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib,
sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus
ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak
serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu
bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama
akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”
; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan
menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk
pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya
sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai
“bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj
syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian
(bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang
mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan
mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah
penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah
orang-orang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah
(bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat
ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi
macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah
yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalahannya dengan
dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” [1]
Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal
Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam
didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum
yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian
untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah
(penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah
(penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah
(penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah
(penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah
(penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti :
menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman
Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib
karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali
dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya
maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat
(membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan
ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah
menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.
2. Bid’ah Muharramah seperti :
aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan
membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).
3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah
yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap
kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan)
shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.
4. Bid’ah Makruhah seperti :
berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.
5. Bid’ah Mubahah seperti :
bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis
makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada
sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada
bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan
perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam
shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “ [2]
Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua
bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status
hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah
yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk.
al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah
al-Muhaddits al-Baihaqi :
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: «نعمت البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr,
telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i
pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua
bagian :
1.
Suatu
perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini
termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang
baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini
perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata
tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah
adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun
keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya. [3]
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas
begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah
disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah
juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam
‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab
lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah
Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda
walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu sama-sama para ‘ulama menerimanya.
Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang
selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman
mereka itu.
LANJUT MASALAH BID’AH
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang”
yang selalu di gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya
menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang
sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah.
Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya
adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi
oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah,
Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya,
sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada
nasnya (walaupun nas-nya umum).
Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap
bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa
Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi
al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti
itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina
‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari
sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah
hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda
antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang
tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :
(قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات
“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah
adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya
bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya,
ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah,
muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan
contoh-contohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal
Lughaat”. [4]
Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu
bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan)
oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish
terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam
Syarh Shahih Imam Muslim :
وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) [5]
merupakan takhsish terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap
perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah
(sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah perkara-perkara baru
yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan
masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa
bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah
dan mubahah”. [6]
Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah
sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan
bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang
buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau
mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan
pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara
muhdats yang bathil.
Pendefinisian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang
tidak ada contoh sebelumnya,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak
ada contoh sebelumnya” [7]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau
mendefinisikan :
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah
didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa
Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi
hasanah dan qabihah”. [8]
Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin
Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai
berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa
masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ;
bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah
mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk
menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. [9]
Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun
terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai
bid’ah.
Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun
perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang
yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun
kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai
sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [10]
Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan
khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda
tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga
nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya
sebenarnya sama. [11]
[1] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam
an-Nawawi [6/154-155].
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat
lil-Imam an-Nawawi [3/22-23] ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis
Salam [2/ 204]
[3] Lihat : al-Madkhal ilaa Sunanil Kubraa
lil-Imam al-Baihaqi [253] ; disebutkan juga didalam Tahdzibul Asmaa’ wal
Lughaat [3/23]
[4]
Lihat
; al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[5]
Hadits
yang dimaksud adalah (HR. Musim 4/2059).
مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ
فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ
مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“barangsiapa
mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang
baik) kemudian orang setelahnya mengamalkannya, niscaya ditulis baginya
seumpama pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari
pahala mereka, dan barangsiapa yang mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam
Islam sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) kemudian orang setelahnya
mengamalkanya, maka ditulis atasnya seumpama dosa orang yang mengamalkannya,
tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka”.
[6]
Lihat
: al-Minhaj syarh Shahih Muslim [7/104] Imam Nawawi
[7]
Lihat
: al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[8]
Lihat
: Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[9] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin
bin ‘Abdissalam [2/204].
[10] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah
yaitu ; karena perkara tersebut tidak dilakukan pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa salam, namun hanya dilakukan pada masa setelah
Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat tarawih. Shalat Tawarih adalah
perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, namun Rasulullah
meninggalkannya dan para sahabat juga tidak berjama’ah (shalat tarawih
berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada pada masa
Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena tidak ada masa Rasulullah,
pelaksanaan tarawih dengan cara berjama’ah tersebut dinamakan sebagai bid’ah
yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah,
berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab
[ [8/6] disebutkan:
قد جعل له في ذلك ثوابا
فقال : من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها، وقال في ضده : من سن
سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر الله به
ورسوله، قال: ومن هذا النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، لما كانت من
أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن النبي، صلى الله عليه
وسلم، لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس لها
ولا كانت في زمن أبي بكر وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع الناس عليها وندبهم إليها
فبهذا سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله عليه وسلم، عليكم
بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya,
dikatakan : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka baginya pahala
dan pahala orang yang mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah :
“barangsiapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa orang
yang mengamalkannya”, dan itu apabila menyelisihi apa-apa yang Allah dan
Rasul-Nya perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu
ucapan Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi
(sebaik-baiknya bid’ah adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan-perbuatan
baik dan termasuk dalam perkara yang terpuji maka dinamakan bid’ah dan
terpujinya karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah
bagi mereka, sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian
meninggalkannya dan tidak menjaganya (tidak melanggengkannya), tidak pula
mengumpulkan manusia, bahkan tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina
‘Umar mengumpulkan manusia pada shalat tarawih dan mensunnahkan melakukannya
maka dari inilah dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah
sunnah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin setelahku”. []
[11] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul
Qari syarh Shahih Bukhari [5/230] menjelaskan :
البدعة لغة: كل شيء عمل
علي غير مثال سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وهي عل قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون
حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa
contoh sebelumnya. Sedangkan dari segi syara’ : mengada-adakan perkara yang
tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam, dan itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah dlalalah,
itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah hasanah, yakni suatu perkara yang
orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut tidak
menyelisihi al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
Berdasarkan definisi ini, setiap perkara yang tidak ada
asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan
berdasarkan segi syariat pula maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni
hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37],
Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :
قوله: والبدع جمع بدعة
وهي ما لم يكن له أصل في الكتاب والسنة، وقيل: إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله
ولا في زمن الصحابة، رضي الله تعالى عنهم
“bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada
perkara tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakkan
sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak pula pada zaman
shahabat radliyallahu ta’alaa ‘anhum”.
Berdasarkan definisi yang berbeda ini (qil), yang
mana lebih longgar dalam pendefinisiannya yaitu ; jikalau ada asalnya
pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun
apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah.
Jadi, definisi ini menyertakan perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara
yang bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarkan pengertian sunnah yang umum,
bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu
berdasarkan hadits ;
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“hendaklah kalian (berpegang) atas sunnahku (Nabi
Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin, gigitlah oleh
kalian dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkar-perkara baru yang
diada-adakan, sebab sungguh setiap perkara muhdats adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah dlalalah” [HR. Musnad Ahmad]