Isra Miraj merupakan peristiwa besar yang dialami oleh nabi
Muhammad SAW. Wajib hukumnya untuk Muslimin mengimani dan meyakini sebagai
suatu kebenaran dari Allah SWT. Pada peristiwa itu Nabi Muhammad SAW bertemu
Allah SWT, dan mendapat perintah menjalankan salat 5 waktu sehari. Dalam perjalanan bertemu Sang Pencipta, Rasullulah ditemani
malaikat Jibril dengan mengendarai Buraaq. Yaitu hewan putih panjang, berbadan
besar melebihi keledai dan bersayap. Sekali melangkah, Buraaq bisa menempuh
perjalanan sejuah mata memandang dalam sekejap. Rasullulah SAW melewati 7 langit dan bertemu dengan para penghuni
di setiap tingkatan. Kabar ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan imam Muslim dari Anas bin Malik.
1. Ketika mencapai langit tingkat pertama,
Rasullulah SAW bertemu dengan manusia sekaligus wali Allah SWT
pertama di muka bumi, Nabi Adam AS. Saat bertemu nabi Adam, Rasullulah sempat
bertegur sapa sebelum akhirnya meninggalkan dan melanjutkan perjalanannya. Nabi
Adam membekali rasullulah dengan doa, supaya rasullulah SAW selalu diberi
kebaikan pada setiap urusan yang dihadapinya. Sambil mengucapkan salam,
rasullulah meninggalkan langit pertama untuk menuju langit kedua.
2. Sesampainya di langit kedua,
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Seperti
halnya di langit pertama, rasullulah disapa dengan ramah oleh kedua nabi
pendahulunya. Sewaktu akan meninggalkan langit kedua, Nabi Isa dan Yahya juga
mendoakan kebaikan kepada rasullulah. Kemudian rasullulah bersama Malaikat
Jibril terbang lagi menuju langit ketiga.
3. Tidak disangka, di langit ketiga,
Rasullulah bertemu dengan Nabi Yusuf, manusia tertampan yang
pernah diciptakan Allah SWT di bumi. Dalam pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan
sebagian dari ketampanan wajahnya kepada Nabi Muhammad. Dan juga di akhir
pertemuannya, Nabi Yusuf memberikan doa kebaikan kepada nabi terakhir itu.
4. Setelah berpisah dengan Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi
Muhammad melanjutkan perjalanan dan sampailah dia ke langit keempat.
Pada tingkatan ini, rasullulah bertemu Nabi Idris. Yaitu manusia
pertama yang mengenal tulisan, dan nabi yang berdakwah kepada bani Qabil dan
Memphis di Mesir untuk beriman kepada Allah SWT. Seperti pertemuan dengan
nabi-nabi sebelumnya, Nabi Idris memberikan doa kepada Nabi Muhammad supaya diberi
kebaikan pada setiap urusan yang dilakukannya.
5. Sesampainya di langit kelima,
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Harun. Yaitu nabi yang
mendampingi saudaranya, Nabi Musa berdakwah mengajak Raja Firaun yang menyebut
dirinya tuhan dan kaum Bani Israil untuk beriman kepada Allah SWT.
Harun terkenal sebagai nabi yang memiliki kepandaian berbicara dan
meyakinkan orang. Di langit kelima, Nabi Harun mendoakan Nabi Muhammad
senantiasa selalu mendapat kebaikan pada setiap perbuatannya. Setelah bertemu,
kemudian Nabi Muhammad melanjutkan perjalanannya ke langit keenam.
6. Pada langit keenam,
Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Musa. Yaitu
nabi yang memiliki jasa besar dalam membebaskan Bani Israil dari perbudakan dan
menuntunnya menuju kebenaran Illahi. Nabi Musa juga terkenal dengan sifatnya
yang penyabar dan penyayang selama menghadapi kolot dan bebalnya perilaku Bani
Israil.
Selama bertemu dengan Muhammad, Nabi Musa menyambut layaknya kedua
sahabat lama yang tidak pernah bertemu. Penuh kehangatan dan keakraban. Sebelum
Nabi Muhammad pamit meninggalkan langit keenam, Nabi Musa melepasnya dengan doa
kebaikan.
7. Tibalah Nabi Muhammad ke langit ketujuh.
Di langit ini, Nabi Muhammad bertemu dengan sahabat Allah SWT,
bapaknya para nabi, Ibrahim AS. Sewaktu bertemu, Nabi Ibrahim sedang
menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’muur, yaitu suatu tempat yang disediakan
Allah SWT kepada para malaikatnya. Setiap harinya, tidak kurang dari 70 ribu
malaikat masuk ke dalam.
Kemudian Nabi Ibrahim mengajak Muhammad untuk pergi ke Sidratul
Muntaha sebelum bertemu dengan Allah SWT untuk menerima perintah wajib salat.
Sidratul Muntaha merupakan sebuah pohon yang menandai akhir dari batas langit
ke tujuh. Masih dalam hadits yang sama, rasullulah SAW menceritakan bentuk
fisik dari Sidratul Muntaha, yaitu berdaun lebar seperti telinga gajah dan
buahnya yang menyerupai tempayan besar.
Namun ciri fisik Sidratul Muntaha berubah ketika Allah SWT datang.
Bahkan Nabi Muhammad sendiri tidak bisa berkata-kata menggambarkan keindahan
pohon Sidratul Muntaha. Pada kepecayaan agama lain, Sidratul Muntaha juga
diartikan sebagai pohon kehidupan.
Di Sidratul Muntaha inilah Nabi Muhammad berdialog dengan Allah
SWT, untuk menerima perintah wajib salat lima waktu dalam sehari
Isra’ Miraj dan Misteri 7 Langit
Isra’ miraj adalah
sebuah perjalanan spiritual lintas langit yang menakjubkan. Sebuah perjalanan
dari bumi menembus tujuh lapis langit. Bagaimana persepsi anda tentang langit?
Seberapa besar, seberapa jauh? Dimana letaknya? Berapa lama untuk
mengarunginya? Nah, hikmah yang mesti kita ambil dari peristiwa isra miraj yang
mengarungi tujuh langit adalah agar pemahaman kita lebih baik akan makna “Allah
Maha Besar.” Langit adalah benda penuh misteri. Namun setidaknya, kita dapat
menangkap sedikit informasi tentang langit sebagaimana yang tersebut oleh
penciptanya dalam kitab suci.
Tentang Langit
Setidaknya ada dua buah versi pemahaman manusia tentang langit.
1. Langit Sughro (Langit Kecil)
2. Langit Kubro (Langit Besar)
Langit Sughro
Langit sughro adalah langit kecil, yaitu atmosfer yang menyelubungi bumi.
Inilah pemahaman tentang langit versi pertama. Pemahaman ini berdasar pada
ayat-ayat Al Quran sbb:
“Dialah yang menurunkan air hujan dari langit” (Al An’am 99)
“Demi langit, dzat yang mengembalikan” (At Thariq 11)
“dan langit sebagai atap…” (Al Baqarah 22)
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (Al Mulk 3)
Keempat informasi tentang langit dalam ayat-ayat di atas, sama
dengan ciri-ciri atmosfer bumi kita, yaitu:
1. Atmosfer terdiri atas 7 lapis yaitu: Troposfer, Stratosfer,
Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer dan Eksosfer
2. Hujan turun dari awan yang membawa uap air. Ayat yang
mengatakan “menurunkan air hujan dari langit”, menjelaskan bahwa posisi awan
berada di langit, yaitu troposfer (lapisan atmosfer yang pertama)
3. Atmosfer juga berfungsi sebagai atap pelindung dari benda-benda
asing seperti batu meteor yang jatuh ke bumi. Benda asing yang menuju bumi akan
terbakar karena gaya gesek berkecepatan tinggi dengan atmosfer. Selain itu,
atomosfer juga melindungi dari sinar UV yang berbahaya bagi manusia. Itulah
fungsi atmosfer sebagai atap, persis seperti yang tertuang dalam ayat yang
mengatakan bahwa langit sebagai atap
4. Atmosfer juga berfungsi sebagi dzat yang mengembalikan (At
Thariq 11). Ionosfer adalah lapisan atmosfer yang berfungsi untuk memantulkan
gelombang radio. Gelombang pemancar radio dari bumi naik ke atas, dan oleh
Ionosfer dikembalikan lagi ke bumi. Itulah mengapa kita dapat mendengarkan
siaran radio dari belahan bumi lain seperti BBC London dsb. Hujan, juga pada
dasarnya merupakan proses pengembalian air ke bumi. Uap air dari bumi naik ke
atmosfer, lalu dikembalikan lagi ke bumi. Jelasnya, atmosfer berfungsi sebagai
lapisan yang “mengembalikan” sebagaimana dalam ayat “Demi langit, dzat yang
mengembalikan”.
Langit Kubro
Selain pemahaman tentang langit yang diartikan sebagai atmosfer bumi, langit
adalah alam semesta yang lebih luas dari sekedar atmosfer. Hal ini tertuang
dalam ayat sbb:
“Dan Kami hiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang” (QS Al
Mulk)
“Demi langit yang mengandung bintang-bintang” (QS Al Buruj)
Bintang terletak di luar atmosfer bumi. Matahari adalah bintang
yang paling dekat dengan bumi, dan jauh lebih besar dari bumi. Bintang-bintang
di alam semesta membentuk kelompok bintang yang disebut dengan Galaksi. Galaksi
kita bernama Bima Sakti yang memuat sekitar 100 milyard bintang-bintang.
Bentuknya seperti cakram dengan diameter 80.000 tahun perjalanan cahaya.
Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik. Jadi, 80.000 tahun cahaya = 80.000 x
365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km… subhanallah….
Lebih mengagumkan lagi, ternyata galaksi juga jumlahnya luar biasa
banyak. Sekitar 100 milliar galaksi akan membentuk cluster galaksi. Bayangkan,
betapa besarnya cluster galaksi ini! Anda bisa hitung berapa banyak
bintang-bintang yang ada di sebuah cluster galaksi? Subhanallah… Inilah bukti
kebesaran Allah.
Cluster galaksi pun banyak jumlahnya. Nah, bintang-bintang yang tak terhitung
banyaknya itulah yang menempati langit (QS Al Buruj). Subhanallah, betapa
luasnya langit…
Tentang Tujuh Langit
Sang Maha Pencipta secara tegas menginformasikan bahwa langit berjumlah tujuh.
Untuk pemahaman langit versi pertama (Langit sughro), yang mendefinisikan
langit adalah atmosfer, maka jelas bahwa yang dimaksud tujuh langit adalah
lapisan-lapisan atmosfer yang berjumlah tujuh buah itu. Bagaimana dengan tujuh
langit kubro? Inilah yang masih menjadi misteri besar bagi manusia. Ada
beberapa pemahaman tentang ini. Ada yang memahami bahwa langit kubro ini juga
secara fisik berlapis-lapis, sebagaimana langit sughro.
Ada juga yang memahaminya bukan sebagai lapisan fisik, tapi
lapisan dimensi sebagaimana terdapat dalam buku Terpesona di Sidratil Muntaha,
karya Agus Mustofa. Jika langit kubro pertama yang kita tempati berdimensi 3,
maka langit ke-2, 3, 4 dst adalah alam berdimensi 4, 5, 6 dst. Pemahaman versi
ini mengatakan bahwa manusia hidup di langit dimensi 3, jin hidup di alam
langit dimensi 4, arwah orang awam hidup di alam langit dimensi 5, arwah para
aulia, syuhada, malaikat, dan para nabi hidup di alam langit dimensi yang lebih
tinggi tergantung kedudukannya. Waktu peristiwa isra miraj, nabi bertemu dengan
beberapa nabi di berbagai lapisan langit. Nabi Muhammad bertemu Nabi Ibrahim di
langit ke tujuh, bertemu Nabi Musa di langit ke enam. Juga bertemu dengan nabi
Adam, Nabi Yusuf di lapisan langit-langit lainnya. (Agus Mustafa, Terpesona di
Sidratil Muntaha).
Penghuni langit berdimensi lebih rendah tidak dapat melihat
penghuni langit berdimensi lebih tinggi. Tapi penghuni langit berdimensi lebih
tinggi dapat melihat penghuni langit yang berdimensi lebih rendah. Itulah
sebabnya:
- Manusia tidak dapat melihat jin tapi jin dapat melihat manusia
- Kita tida bisa mendengar rintihan arwah yang sedang disiksa, tapi arwah dapat
mendengar bunyi alas kaki para pengantar jenazahnya
Bagaimanapun, tentang tujuh langit adalah misteri. Hanya Sang
Khalik yang tahu pasti. Wallahu alam bishowab.
Tambahan
Informasi di dalam al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an al-Karim, perkataan Tuhan, menuturkan kepada kita
tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam dua ayat berikut:
Qs.2 Baqarah:29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Qs.17 Israa’:44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Qs.42 Fushshilat:12. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Qs. 67 Mulk:3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang?
Qs. 65 Thalaaq:12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan
SEPERTI ITU PULA BUMI. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.
Ayat pertama bericara kepada kedua tentang dua sifat langit:
bilangan langit itu, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis.
Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir
al-Qur’an dan kamus-kamus bahasa Arab.
Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu
diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu
berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh
lapisan.
Informasi dalam Sunnah
Seandainya kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita
menemukan sebuah hadits yang menegaskan keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya
tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian yang lain.
Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah,
maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi.’ (HR Bukhari) Kata
menimbun di sini diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara bahasa berarti
meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya di sini adalah: Bukankah hal ini merupakan mukjizat
Nabawi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini telah menentukan bilangan
lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk lapisan itu, yaitu meliputi
dan menyelubungi.
Bahkan hadits ini memuat sinyal tentang bentuk bulat atau
semi-bulat. Al-Qur’an dan Sunnah telah mendahului ilmu pengetahuan modern dalam
mengungkapkan fakta yang ilmiah ini. Selain itu, al-Qur’an juga telah memberi
kita penelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan menggunakan kata
thibaqan.
Meski Rasulullah Muhammad SAW memiliki banyak mukjizat fisik
seperti menyembuhkan orang lumpuh, membelah bulan, berbicara dengan binatang
seperti Nabi Sulaiman, para sahabat berjalan diatas laut, memberi makan ribuan
orang dengan sikit makanan, dan masih sekitar 300 mukjizat lainnya yang telah
sy tulis dalam wall post 1 bulan lepas, tapi tetaplah Qur’an ialah Mukjizat
terbesar & sepanjang masa.
Itulah mengapa Qur’an disebut mukjizat terbesar & sepanjang
masa kerana banyak ayat Qur’an yang baru dapat dibuktikan oleh peralatan modern
abad terahir. Mulai dari Astronomi, Geology, Biology, Math, chemistry,
Oceanography dan segala bidang.
Sebuah Mukjizat terbesar berupa sebuah buku yang diturunkan
melalui seorang Al-Amin (tak pernah berbohong) yang tak dapat membaca dizaman
kuno kepada ummat terakhir yang pintar dan selalu membaca buku di zaman modern
dan baru dapat dibuktikan oleh peralatan akhir zaman. Siapa lagi yg mewahyukan
jika bukan PENCIPTA ALAM SEMESTA?
Jadi,,, 1 bukti lagi… ISLAM TERBUKTI BENAR….
Qs.3 Ali Imran:85 Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka SEKALI-KALI TIDAK AKAN DITERIMA daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi
Qs.3 Ali Imran:19 Sesungguhnya agama disisi Allah HANYALAH Islam.
Tiada berselisih orang- orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab- Nya
Informasi di dalam al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an al-Karim, perkataan Tuhan, menuturkan kepada kita
tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam dua ayat berikut:
Qs.2 Baqarah:29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan- Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Qs.17 Israa’:44. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Qs.42 Fushshilat:12. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Qs. 67 Mulk:3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang?
Qs. 65 Thalaaq:12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan SEPERTI
ITU PULA BUMI. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.
Ayat pertama bericara kepada kedua tentang dua sifat langit: bilangan
langit itu, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti
kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan
kamus-kamus bahasa Arab.
Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu
diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu
berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh
lapisan.
Lazimnya, pada awalnya, kita beragama cuma ikut orang tua sahaja.
Kita tak fikir agama benar atau salah.
Jika kita lahir di timur dari keluarga islam, maka kita islam.
Jika kita lahir di barat dari keluarga christian, maka kita christian. Jika
kita lahir di Himalaya dari keluarga budha, maka kita jadi bhisksu.
19 keyakinan, meski yakin sangat dengan seyakin-yakinnya, maka
tetap lah tak bermakna ada 19 Tuhan,tetap Tuhan cm 1 !
1 Tuhan bmakna 1 Agama yg sebenar,macam mana kita boleh tahu
sebuah agama benar???
Jadi, dalam soalan ini kita TIDAK BICARA TENTANG KEYAKINAN, tapi
kita paparkan BUKTI KEBENARAN.
Jika Islam Benar, apa buktinya?
Jika Christian Benar, apa buktinya?
Untok membuktikan sebuah agama benar, maka tak boleh ditengok dari
kesalahan ummatnya, kerana ummat tetaplah manusia yg tak sempurna.
Jika di negeri muslim ramai orang miskin yg beragama islam, maka
itu tak bererti islam buruk, kerana di philipin yg miskin sangat agamanya ialah
katholik.
Jika di negeri muslim ramai pesalah/penjahat yg masuk
lokap/penjara ialah ramai yg beragama islam, maka tak bererti islam buruk,
kerana di brazil yg menjadi pesalah/napi di lokap ialah beragama christian atau
katholik.
Pembuktian sebuah agama benar pun tak boleh ditengok dari pendapat
orang, kerana ada ramai pendapat orang dimuka bumi ini yg satu sama lain
berbeza.
Pembuktian sebuah agama benar kena dilihat dari kitabnya, jika
memang kitab itu dari Tuhan, maka TAK BOLEH ada kesalahan sesikit apapun.
Mari kita sama buktikan 2 hal sahaja:
1. Bukti nyata Qur’an ialah mukjizat terbesar & sepanjang masa
2. Bukti nyata alkitab christian ramai kesalahan soalan ajaran
& ayatnya
Tambahan Lagi
Ilmu Alamiyah Dasar
KATA PENGANTAR
Segala puji kepunyaan Allah Rabb semesta alam, semoga salawat dan
salam-Nya terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw dan seluruh kerabat, para
sahabat dan para pengikut-pengikutnya. Sehingga mendapatkan kemudahan dalam
mengerjakan makalah “Ilmu Alamiyah Dasar ” yang harus diselesaikan.
Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada semua pihak yang ikut serta dalam
mendukung makalah ini, sehingga diharapkan bisa menghasilkan dan memaparkan
penjelasan yang lebih jelas.
Dalam penulisan ini, pasti tidak akan luput dari kesalahan. Sehingga diharapkan
bagi pembaca agar memberikan kritik dan saran supaya penulis mengetahui dan
memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam penulisan ini.
Akhirnya dengan ini, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat
baik dari pembaca maupun penulis.
Malang, 11 Juni 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Dalam Al-Quran, telah banyak mengupas dan menjelaskan secara rinci dan jelas
bahwa apa yang ada di dalam bumi dan jagat raya ini adalah penguasaan Allah
SWT. Dalam hal ini akan di paparkan tentang Fii sittati ayyam, Sab’ah Samawat,
dan Rowasiyah, yang di jelaskan dalam berbagai tafsir. Di antaranya dari tafsir
klsik dan kontemporer, yang bertujuan untuk bisa mengetahui apa maksud dari
kalimat-kalimat tersebut.
2. 2 Rumusan Masalah
Bagaimana Fii Sittati Ayyam
dalam Tafsir Klasik/ jalain?Ø
Bagaimana Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir
Bir Ra’yi?Ø
Bagaimana Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir
Kontrmporer ?Ø
Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir
Klasik?Ø
Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir
Bir Ra’yi?Ø
Bagaimana Sab’ah Samawaat dalam Tafsir
Kontemporer?Ø
Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir Klasik?Ø
Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir Bir
Ra’yi?Ø
Bagaimana Rowasiyah dalam Tafsir
Kontemporer?Ø
Bagaimana Perbandingan dari Ketiga
Kalimat-Kalimat itu?Ø
3. 3 Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan
kalimat-kalimat itu. Sehingga bisa mengamalkan apa yang ada di dalam memperjuangkan
Agama yang paling mulia disisi Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Klasik
Dalam Al-Qur’an, telah memaparkan tentang mana dari Fii Sittati Ayyam yang ada
pada surat Ke-7 Al-A’raf (Tempat Yang Tinggi) ayat 54 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa”.
Menurut ukuran hari dunia atau yang sepadan dengannya, sebab pada
zaman itu masih belum ada matahari. Akan tetapi ji9ka Allah menghendakinya
niscaya Ia dapat menciptakannya dalam sekejab mata, adapun penyebutan hal ini,
di maksud guna mengajari makhluk-Nya agar tekun dan sabar dalam mengerjakan
sesuatu (lalu Dia bersemayam di atas Arasy) Arasy menurut istilah bahasa
artinya singgasana raja, yang dimaksud dengan bersemayam ialah yang sesuai
dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya (Dia menutupkan malam kepada siang)
bisa dibaca Takhfif yakni Yughsyii dan dibaca Tasydid, yakni Yughasysyii,
artinya: keduanya itu saling menutupi yang lain secara silih berganti (yang mengikutinya)
masing-masing di antara keduanya itu mengikuti yang lainnya (dengan cepat)
secara cepat (dan di ciptakan-Nya pula matahari dan bitang-bintang) dengan
dibaca Nashab diathafkan kepada As Samaawaat, dan dibaca Rafa’ sebagai Mubtada
sedangkan khabarnya ialah (masing-masing tunduk) patuh (kepada perintah-Nya)
kepada kekuasaan-Nya (ingalah, menciptakan itu hanya hak Allah ) semuanya (dan
memerintah) kesemuanya adalah hak-Nya pula (maha suci) Maha Besar (Allah,
Tuhan) pemelihara (semesta Alam).
Proses penciptaan alam semesta dalam Al-Qur’an sering menggunakan istilah
sittati ayyam atau biasa di sebut ”enam hari”. Istilah ini antara lain terdapat
pada surat [7]: 54, [10]: 3, [11]: 7, [25]: 59, [32]: 4, dan [50]: 38.
Selain ayat-ayat tersebut, ada juga beberapa ayat yang berkaitan dengan
penciptaan alam semesta seperti dalam surat [41]:9, 10, 12 dan [79]: 27-33.
Untuk memahami arti sittati ayyam dalam konteks penciptaan alam semesta,
masing-masing ayat tersebut tidak bisa ditafsirkan secara terpisah. Para mufassir
meyakini bahwa sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian yang lain
(Al-Qur’anu yufassiru ba’dluhu ba’dlan). Sehingga istilah sittati ayyam harus
ditafsirkan dengan melihat ayat-ayat lain yang terkait penciptaan alam semesta.
Akan tetapi, jika kita membandingkan ayat-ayat tersebut, akan terlihat sebuah
permasalahan dalam Surat Fushshilat ayat 9, 10, dan 12. Dalam ayat 9
disebutkan: ”….yang menciptakan Bumi dalam dua masa……”, kemudian dalam ayat 10:
”…..menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat
masa….”, dan ayat 12: ”maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa…….”.
Jika masa-masa dalam ketiga ayat tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya menjadi 8
masa, bukan 6 masa (sittati ayyam) seperti yang telah disebutkan dalam ayat-ayat
lainnya. Apakah hal ini berarti ada kontradiksi dalam Al-Qur’an? Tentu tidak
akan ada mufassir yang beranggapan demikian.
Sebagian mufassir kemudian mencoba menafsirkan rangkaian ayat tersebut sebagai
berikut. Mula-mula Bumi diciptakan selama dua masa (surat [41]:9). Setelah itu,
diciptakan pula isinya selama dua masa. Jadi, istilah ”empat masa” dalam surat
[41]:10 sebenarnya memasukkan dua masa penciptaan Bumi dalam ayat sebelumnya.
Dilanjutkan dengan penciptaan langit selama dua masa (surat [41]:12), maka
jumlah keseluruhannya ialah enam, bukan delapan masa.
Dalam ketiga ayat tersebut di atas, terdapat tiga istilah yang agak berbeda
maknanya, namun diterjemahkan sama rata sebagai ”penciptaan”. Pertama, khalaqa
pada surat [41]:9 yang bermakna ”menciptakan dari bahan yang belum ada
sebelumnya”. Kedua, ja’ala dalam surat [41]:10, yang bermakna ”menyusun,
mengolah bahan yang telah ada sebelumnya menjadi ciptaan baru”. Istilah ketiga
ialah qadla dalam kata faqadlahunna (surat [41]:12). Istilah ini bermakna
”menetapkan”. Penggunaan istilah qadla (”menetapkan”) dalam ayat [41]:12
terkait dengan penciptaan langit: ”Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam
dua masa…”
Selain Al-Qur’an, sejumlah hadits juga mengabarkan penciptaan alam semesta.
Salah satunya adalah hadits At-Thabari nomor 17.971 yang terdapat dalam Shahih
Muslim. Berbeda dengan Al-Qur’an, hadits ini menjelaskan bahwa alam semesta
tercipta dalam 7 hari. Menurut hadits tersebut, Allah SWT menciptakan tanah
pada hari Sabtu. Lalu, menciptakan gunung pada hari Ahad dan pepohonan di hari
Senin. Kemudian menciptakan hal-hal negatif pada hari Selasa, cahaya di hari
Rabu, dan mengembangbiakkan ciptaannya pada hari Kamis. Terakhir, Allah
menciptakan Adam pada hari Jum’at ba’da Ashar.
Hadits lain juga menyebutkan bahwa Allah SWT memulai penciptaan Bumi pada hari
Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan selesai hari Jum’at (6 hari). Asumsi yang
digunakan ialah 1 hari dalam hadits ini sama dengan 1000 tahun. Jadi, mana yang
benar? Enam, tujuh, atau berapa?
Kita harus ingat bahwa penyebutan angka tidak mesti bermakna eksak. Misalnya
saja angka 7 dalam bahasa Arab menunjukkan jumlah yang banyak, kaki seribu yang
berarti berkaki banyak, dan 1001 malam untuk menggambarkan banyaknya kisah di
Negeri Persia. Jadi, apakah sittati ayyam memang menyebutkan tahapan penciptaan
alam semesta, atau sekadar menunjukkan bahwa penciptaan alam itu sangat rumit
sehingga perlu digambarkan dalam bilangan yang lebih dari tiga? Dalam tafsir
lama maupun modern, belum ada penjelasan rinci tentang sittati ayyam.
Istilah ini diterima secara imani saja, bukan sebagai sebuah isyarat ilmiah.
Meskipun demikian, bukan berarti penafsiran ilmiah tidak diperlukan. Tafsiran
ilmiah apapun atas sittati ayyam dapat diterima asalkan tidak bertentangan
dengan tafsiran ayat lain.
Dalam penafsiran dikenal teori munasabah, yaitu sebuah ayat yang selalu terkait
dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat-ayat itu berisi penjelasan mengenai
karya Allah SWT seperti penciptaan alam, selalu mengawali ayat-ayat berisi penjelasan
mengenai tauhid. Sehingga, setiap penafsiran mengenai penciptaan alam harus
bermuara pada ketauhidan.
Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang mengagumkan, sebagaimana ungkapan
Ibnu Abbas, ”Al-Qur’an itu bagaikan permata yang memancarkan cahaya dari sisi
yang berbeda-beda.”
2. 3 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Bir Ra’yi
Dalam tafsir ini, menjelaskan tentang fii sittati ayyam yang tertulis juga
dalam Al-Qur’an surat al- A’raf ayat 54:
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada lagi kamu
selain-Nya satu penolong pun dan tidak juga pemberi syafa’at. Maka apakah kamu
tidak memperhatikan?”.
Perbedaan pendapat ulama tentang makna sittati ayyam atau enam hari telah di
jelaskan ketika menafsirkan Qs. Al-A’raf [7]: 54 dan Qs. Hud [11]: 7. Di sini
telah mengemukakan bahwa ada ulama yang memahami kalimat tentang enam hari itu
dalam enam kali 24 jam. Namun, menurut pendapat ulama yang lain bahwa manusia
mengenal perhitungan. Perhitungan ini, berdasarkan kecepatan cahaya, suara,
atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan seperti yang ditulis ilmuan Mesir
Zaghlul an Najjar, pada masa silam peredaran bumi lebih cepat dari masa-masa
sesudahnya, dan ini juga berarti pertambahan jumlah hari-hari dalam sebuah
tahun.
Pada periode Cambrian, sekitar 600 miliun tahunyang lalu setahun sama dengan
425 hari, lalu pada pertengan periode Ordovician sekitar 450 miliun tahun yang
lalu jumlah hari dalam setahun sama dengan 385 hari. Dengan demikian bumi dari
hari ke hari melambat peredarannya sehingga sekarang setahun sama dengan 365
hari atau 365 hari, lima jam , 49 menit dan 12 detik.
2. 3 Fii Sittati Ayyam dalam Tafsir Kontrmporer
Jika dilihat dari urutan pembahasan ketiga ayat tersebut, maka ”penetapan”
tujuh langit berada pada bagian paling akhir rangkaian penciptaan. Namun,
mengingat alam semesta senantiasa berproses, maka ”menetapkan” di sini tidak
bisa disamakan dengan ”menyelesaikan”. Yang ”selesai” bukanlah fisik langit
atau alam semesta, melainkan hukum-hukumnya. Dengan hukum-hukum itulah, alam
semesta terus menerus berproses.
Hal lain yang menarik ditinjau adalah kata sittati ayyam dalam Al-Qur’an selalu
diawali oleh kata fii yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada
jeda. Berdasarkan ini dan uraian mengenai ketiga istilah sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa penciptaan alam semesta terjadi melalui sejumlah tahapan yang
kontinyu: dimulai dengan penciptaan dari ketiadaan, penciptaan baru dari
ciptaan-ciptaan sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum alam.
2. 4 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” yakni sebagian di
antaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan.
Dalam pengertian ini, Allah telah menciptakan langit dengan berlapis-lapis yang
mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena dalam perkembangan dan pengetahuan
yang telah terkumpulkan bahwa langit yang ketujuh itu terletak di super galaksi
yang banyak sekali gumpalan-gumpalan meteor dan byak galaksi yang terkumpul
didalamnya.
2. 4 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Bir Ra’yi
Dalam Al-qur’an juga telah dipaparkan dengan secara rinci, yaitu dalam
Al-Qur’an surat Mulk ayat 3-4:
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat pada
ciptaan ar-Rahman sedikitpun ketidak seimbangan. Maka ulangilah pandangan itu
adakah engkau melihat sedikitpun keretakan? Kemudian ulangilah pandangan itu
dua kali niscaya akan kembali kepadamu pandangan itu kecewa, dan ia menjadi
lelah.”
Ayat diatas menjelaskan bahwa: yang telah menciptakan tujuh langit berlapis
lapis seresai dan sangat harmonis: Engkau siapa pun engkau kini dan masa datang
tidak melihat pada ciptaan-Nya yang kecil maupun yang besar ketidaksinambungan.
Sab’a samawat/ tujuh langit di pahami oleh para ulama’ dalam arti planet-planet
yang mengitari tata surya, selain bumi karena itulah karena dapat terjangkau
oleh pandangan mata serta pengetahuan manusia, paling tidak saat turunnya
al-Qur’an. Hemat penulis ayat dapat dipahami juga lebih umum dari pada itu,
karena angka tujuh bisa merupakan angka yang menggantikan kata banyak.
Dalam Al-Qur’an, diungkapkan juga dalam surat Hud ayat 7:
“Sesungguhnya Allah telah menentukan keterangan-keterangan dari seluruh
makhluk, seluruhnya Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih
dahulu. Dan ‘ArsyNya adalah di atas air”.
Ayat ini telah memberikan isyarat, bahwasannya penentuan (takdir) yang akan
ditempuh sekalian makhluk telah diaturkan terlebih dahulu sampai kepada hal
yang berkecil-kecil, 50.000 tahun sebelum ketujuh langit dan bimi itu
dijadikan. Maka bertambah dapat difahamkan bahwa menciptakan ketujuh langit
diserambi bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan
sehari itu, hanya Allah yang Maha mengetahuinya. Itu juga dijelaskanlah dalam
ayat ini, bahwasannya dibawah naungan langit yang tinggi, di atas dihamparan
bumi yang luas I I, manusia hidup ialah untuk di cobai, sanggupkah dia
mengerjakan perbuatan yang baik atau tidak.
Manusia wajib selalu mengasuh budinya dan melatih akalnya, supaya dia mendapat
cetusan dari ilmu Tuhan. Tidak ada barang suatu pun ala mini, baik di langit
ataupun di bumi yang dijadikan Tuhan dengan kacau-balau. Penambahan ilmu akan
menambah kuatnya iman, dan iman yang kuat akan menambah baiknya dan tingginya
mutu amalan.
2.5 Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer
Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi tentang makna sab’a
samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk
dicocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit.
Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang penafsiran lapisan-lapisan
langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian
disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada langit ke
dua sampai ke tujuh. Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan astrologi
(suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi pada masa itu) sejak sebelum
zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan.
Benda-benda langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam
secara bergantian dari yang terjauh ke yang terdekat. Bukanlah suatu kebetulan
1 Januari tahun 1 ditetapkan sebagai hari Sabtu (Saturday — hari Saturnus —
atau Doyobi dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari dengan
nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh
pada kehidupan manusia. Bila diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya
jatuh pada matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday,
Nichyobi). Dan seterusnya. Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda
langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday,
getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu),
hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum’at). Itulah asal
mula satu pekan menjadi tujuh hari. Pemahaman tentang tujuh langit sebagai
tujuh lapis langit dalam konsep keislaman mungkin bukan sekadar pengaruh konsep
geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj
adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah
berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak
ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah
yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan
dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana
sidratul muntaha Secara sekilas kisah mi’raj di dalam hadits shahih sebagai
berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya
Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh
ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit
ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf.
Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun
di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke
tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat
shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan
pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya
kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua
sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai
Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. Jibril juga mengajak Rasulullah SAW
melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat
An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang
sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat
wajib.
Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas
kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet,
batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan
tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi.
Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada QS 67:3 dan 71:15
sab’a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan “tujuh langit
berlapis-lapis” atau “tujuh langit bertingkat-tingkat”. Walaupun demikian, itu
tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis
seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan,
Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu
di atas yang lain.
“Bertingkat-tingkat” berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat
benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya
tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip
layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak sebidang
seperti titik-titik pada gambar di kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam
Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang
tak terhitung banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah “tak berhingga”
dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya
yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna
ungkapan “tujuh” dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, “Jika seandainya
semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan
ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah.” Tujuh lautan
bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih
kalimat Allah tak akan ada habisnya. Sama halnya dalam Q. S. 9:80: “…Walaupun
kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak
akan memberi ampun….” Jelas, ungkapan “tujuh puluh” bukan berarti bilangan
eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari
tujuh puluh kali.
Jadi, ‘tujuh langit’ semestinya difahami pula sebagai benda-benda langit yang
tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu apa makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh dalam kisah
mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa
ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra, yang
berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya,
seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit
dalam kisah isra’ mi’raj adalah langit ghaib. Dalam kisah mi’raj itu peristiwa
fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para
Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur
Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, saya sependapat dengan Muhammad
Rasyid Ridha dan lainnya bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang
bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib.
Rowasiyah dalam Tafsir Klasik
Pada Al- Qur’an Surat Fusshilat ayat 10. Kata fiiha Rawasiyah yang berarti di
Bumi itu gunung- gunung yang kokoh dan kuat.
Rawasiyah yang berarti pengokoh dan peneguh, gunung- gungn adalah penghambat
angin, laksana katalisator pembagi strom listrik jangan langsung saja, dan
penampung hujan dan mengalir dengan teratur dari puncak-puncak.
Rawasi terambil dari kata arr-rasw yakni kemantapan pada satu
tempat. Dari sini gunung- gunung, karena ia kekar tidak bergerak dari
tempatnya, di tunjuk dari kata rawasi yang merupakan jama’ dari kata raasiin.
Rowasiyah dalam Tafsir Bir Ra’yi
Dalam Al-Qu’an juga di jelaskan dalam surat an-Nahl aayat 15:
“Dan dia mencampakkan di bumi gunung-gunung supaya ia tidak goncang bersama
kamu: dan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk”.
Kata rawasi terambil dari kata ar-rasw atau ar-rusuwwu yakni
kemantapan pada satu tempat. Dari sini, gunung-gunug, karena ia kekar tidak
bergerak dari tempatnya, di tunjuk dengan kata rawasi yang merupakan bentuk
dari kata rasin.
Rowasiyah dalam Tafsir Kontemporer
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan pada surat Al-Ambiya’ ayat 32:
Rawasiy, yang bermakna sangat kokoh karena akar-akarnya menancap jauh kedalam
lapisan kulit. Akar-akar itu dapat di ibaratkan seperti pasak penyangga, selain
itu kerapatan-kerapatan jarak gunung-gunung dan akar-akarnya itu tidak lebih
dari kerapatan kulit bumi yang mengelilinginya. Itu semua di ciptakan demikian
agar, tekanan dalam kulit bumi terbagi secara merata ke semua arah. Dengan
demikian tidak terjadi pergeseran atau perenggangan dan menimbulkan pengaruh
yang berarti.
Dan juga di sebutkan dalam surat an-Naml ayat 61 yang dijelaskan bahwa antara
gunung-gunung yang tertancap di bumi itu sungai-sungai, dan yang menjadikan
untuknya yakni untukm bumi itu gunung-gunung yang kokoh sehingga bumi tidak
goncang dan menjadikan pula antara dua laut pemisah sehingga air laut dan
sungai tidak tercampur.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak yang sudah kita ketahui bahwa fii sittati ayyam artinya enam masa. yang
berarti Allah telah menciptakan apa yang ada di bumi dengan sangat sempurna.
Dalam penafsiran ini, menyebutkan bahwa pada awal bumi itu diciptakan selama
dua masa, kemudian diciptakan beserta isinya selama dua masa. Jadi, makna dari
”empat masa” sebenarnya memasukkan dua masa penciptaan bumi. Di teruskan dengan
penciptaan langit selama dua masa, sehingga jumlah keseluruhannya adalah enam,
bukan delapan masa.
Sab’ah samawat, artinya sebagai tujuh langit, dalam penafsiran ini menjelaskan
tentang planet-planet yang mengitari tata surya, yaitu selain bumi. Di
karenakan bisa terjangkau dengan pandangan mata dan pengetahuan manusia. Dan
letaknya di super galaksi yang banyak terkumpul meteor-meteor dan
galaksi-galaksi.
Rawasiyah, dalam tafsir ini banyak yang menjelaskan bahwa makna dari Rawasiyah
itu adalah gunung. Karena didalam bumi, ada suatu gumpalan yang sangat kokoh
dan kuat sehingga bisa menopang dan menyeimbangkan dataran atau apa yang ada di
dalam bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir Al-Azhar,Singapura: Pustaka Nasional,1993.
Jalaluddin, Imam al-Mahali & Imam as-suyuthi, Tafsir Jalalain jilid 2,
Bandung: Sinar Baru, 1990.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al- Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Internet.
Tujuh langit tidak berarti tujuh lapis, diakses pada tanggal 10 Juni 2011 dari http://artikelislami.com.
“enam hari” Penciptaan Alam Semesta, diakses pada tanggal 10 juni
2011 darihttp://artikelislami.com.
Dalam bahasa Al-Quran, kata “sab’a” (harfiah: tujuh) tidak selalu
berarti sebuah bilangan bulat antara 6 dan 8. Kata sab’a terkadang menunukkan
jumlah yang banyak sekali. Misalnya “tujuh lautan” di ayat 31: 27, menunjukkan
jumlah yang banyak —artinya: andai sebanyak apa pun lautan dijadian tinta, ia
tak akan sanggup menuliskan semua ilmu Allah. Fakta menarik: kata “tujuh
langit” muncul tujuh kali dalam dua redaksi: sab’a samawat di ayat 2: 29, 41:
12, 65: 12, 67: 3, 71: 15 dan as-samawat as-sabu di ayat 17: 44, dan 23: 86
TAFSIR RINGKAS QS. 67: 3
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.”
AL ‘ALIM: Al-Quran Edisi Ilmu Pengetahuan Munasabah, hlm. 562